Sunday, December 4, 2016

KOPI DALAM BALUTAN RINDU




KOPI DALAM BALUTAN RINDU


Karya Zul Adrian Azizam
Segelas kopi hitam, diseruputnya perlahan karena masih panas. Terlihat asap masih mengepul tipis di atasnya. Jika waktunya untuk minum kopi telah datang dan telat saja seseorang mengantarkannya maka ia akan marah besar. Dia sering disebut Pak Opi oleh orang-orang karena kebiasaannya yang tidak bisa dipisahkan dengan kopi dan harus tepat waktu. Tidak hanya orang yang serumah dengannya saja yang paham kebiasaannya, tapi rata-rata semua orang sudah mengetahuinya. Jika anaknya tidak ada di rumah, dia selalu menyempatkan diri untuk ke warung langganannya untuk memesan segelas kopi kalau waktunya untuk mengopi telah datang.
***
Jam menunjukan pukul 17.32, artinya delapan menit lagi waktunya Pak Opi minum kopi tapi tidak ada seorang pun di rumah -- hanya ia sendiri. Sambil duduk di beranda rumah, matanya tak putus melihat ke gang masuk arah rumahnya. “Kemana lah anak-anak ini, sudah sore belum pulang juga,” omel Pak Opi sendiri yang sesekali berdiri di depan rumahnya melihat anaknya datang.
Pak Opi tinggal dengan anak bungsunya yang masih kuliah semester enam. Kedua anaknya yang lain sudah berkeluarga dan hanya beberapa kali dalam seminggu mereka melihat ayahnya karena jarak juga yang menjadi alasannya. Ia memiliki tiga orang anak perempuan dari seorang wanita yang paling ia kasihi. Namun, tiga tahun yang lalu, Tuhan lebih sayang padanya dan mengambil wanitanya.
Kebiasaan mengopinya berawal sejak ia menikah dengan istrinya yang sangat lihai meracik kopi dan sangat sesuai dengan lidahnya. Awalnya ia tidak begitu suka dengan kopi karena pahit. Pada dua waktu istrinya selalu menyediakannya kopi tanpa dimintanya; pagi sebelum loper koran mengantarkan koran ke rumahnya dan sore ketika mentari mulai bersembunyi di balik sisa hari.
Ketika istrinya menemui Sang Pemiliknya, munculah rasa sedih, risau, dan kosong. Ia tak tau lagi ingin berbagi rasa dan cerita. Beberapa hari bahkan minggu ia belum mendapatkan kebiasaannya ketika begitu dimanja dengan segelas kopi oleh sang istri. Selalu berdiam dirilah ia di dalam kamar. Anak-anaknya belumlah mengetahui kebiasaannya. Namun pada satu waktu, waktu ia mengopi datang karena sudah begitu lama ia tak dihangatkan oleh segelas kopi, dimintanya kepada anaknya untuk membuatkannya segelas kopi.
“Las, tolong buatkan Ayah segelas kopi, ya. Serupa ibumu,” kata Pak Opi pada Lastri, anak ketiganya, dengan wajah yang tak sanggup diangkatnya lagi
“Baik, Yah. Akan Las Buatkan,” jawab Lastri seraya bertanya-tanya dalam hati “serupa ibu?” yang masih ia belum paham. Bergegaslah ia ke dapur dan membuatkan ayahnya segelas kopi yang menurut dia ini yang paling nikmat.
Keluarlah Lastri dari dapur dan menuju kamar ayahnya dengan bergegas. “Yah, ini kopinya,” Lastri meletakan kopi di meja samping tempat tidur ayahnya. “Iya, Las. Terima kasih. Nanti Ayah minum,” jawab Pak Opi dengan berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Setelah meletakan kopi dan mendengar ucapan dari ayahnya, ia pun langsung keluar dan meninggalkan ayahnya dengan segelas kopi berduaan dalam kamar.
***
Berniat ingin membersihkan kamar ayahnya, Lastri melihat gelas kopi yang ia buat kemarin masih terisi penuh. Melihat ayahnya masih tertidur, ia tidak tega untuk membangunkannya dan menanyakan perihal kopi kemarin. Dia membiarkan kopi itu dan menunggu ayahnya bangun. Karena alergi terhadap debu, ia tiba-tiba bersin saat di membersihkan meja kecil di samping tempat tidur Pak Opi. Mendengar bersin Lastri yang cukup keras, tidak sengaja membangunkan Pak Opi. “Ayah sudah bangun,” tanya Lastri, polos.
Pak Opi hanya menoleh dan kembali merebahkan tubuhnya. Sebelum Pak Opi tertidur lagi, Lastri menyempatkan untuk bertanya mengenai kopi semalam kepadanya. “Yah, apakah Ayah sudah minum kopi yang Las bikin?” Mendengar pertanyaan itu Pak Opi hanya menjawab dingin, “sudah”. Tidak puas dengan jawaban itu, Lastri pun kembali bertanya, “kalau sudah, kenapa kopinya tidak habis, Yah? Padahal ini dari semalam.” Pak Opi kembli menjawab dengan cetus, “ini tidak serupa ibumu.”
Mendengar jawaban itu, bergelayutlah pertanyaan di kepalanya, “seperti ibu, apa maksud ayah?” Diambil dan dibawanyalah kopi yang masih terkesan penuh itu dengan meninggalkan tanda tanya.
***
Setelah beberapa hari, Lastri melihat ayahnya masih murung dan tidak lagi memintanya untuk membuatkannya kopi lagi sejak hari itu. Dia pun heran karena sejak ibunya meninggal, ayahnya belum bisa semangat lagi meski dengan kopi. “Yah, Ayah mau Las buatkan kopi?” tanya Lastri pada ayahnya dengan nada pelan. Ayahnya hanya membalas pertanyaan Lastri dengan tatapan penuh makna. Lastri seakan paham apa yang diinginkan ayahnya kali ini. Dia bergegas ke dapur namun kali ini dia tidak langsung mengambil gelas tetapi ia merenung sejenak. Merenungkan sosok ibunya yang beberapa lalu meninggalkannya dan ayah.
Ditemukannyalah salah satu kebiasaan yang selalu ibunya lakukan yaitu senyum. Selalu tergurat senyum di wajah ibunya. Keramahan dan kebaikan tergambar di dalamnya. Itulah yang ingin ditiru dan dipergunakan oleh Lastri dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tidak mungkin juga ketika menyiapkan kopi untuk ayahnya. Setelah merenungkan beberapa saat, barulah ia mengambil gelas untuk membuatkan ayahnya kopi. Tidak lupa kali ini dengan senyum – khas milik ibu seingatnya. Diaduknya kopi dan gula dengan air hangat. Meski ia masih belum menjamin ayah menyukainya tapi dia tetap yakin -- kopi itu akan dilahapnya hingga habis.
“Yah, ini kopi Las buatkan untuk Ayah,” ucap Lastri sambil meletakan kopi di meja samping tempat tidur ayahnya
Ayah hanya melihat saja sambil tiduran. Setelah meletakan kopi itu, Lastri langsung keluar dan kembali membereskan kerjaan rumah lainnya. Dia berharap ayah menghabiskan kopi itu. Meski tidak habis, setidaknya bisa menguatkannya kembali.
Sembari membereskan pekerjaan rumah, sesekali ia melihat ke kamar ayahnya, apakah Pak Opi sudah meminum kopi itu. Bahkan sudah sampai, tiga kali ia memerhatikan atau sudah sekitar sepuluh menit, belum ada ciri-ciri kopi itu telah diseruput. Melihat demikian, sedikit putus asa lah Lastri. Ia tidak ingin melihat ayahnya murung lagi dan sakit. Ia berinisiatif untuk membelikan ayahnya obat menambah nafsu makan. Bergegaslah Lastri menuju apotek dan meninggalkan pekerjaan rumahnya sejenak. Apotek juga tidak jauh dari rumahnya.
Kembali dari apotek hal mengejutkan ia lihat di beranda rumah. Lastri melihat ayahnya duduk dengan wajah begitu berseri dan sangat segar.
“Ayah, sudah fit lagi?” tanya Las dengan heran
Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat, Las. Ayah telah bertemu ibumu,” jawab Pak Opi dengan jelas
Meskipun sangat jelas, namun jawaban yang diberikan Pak Opi membingungkan Lastri, “telah bertemu ibu?” apa maksudnya. Pertanyaan itu menggerogoti hatinya sambil tatapan matanya yang tak terlepas dari ayahnya. Ia pun tidak mau bertanya kepada ayahnya mengenai bertemu ibu tadi. Dia berusaha mencari jawabannya sendiri. “Las masuk ke dalam dulu ya, Yah,” ungkap Lastri yang diikuti anggukan pelan ayahnya.
Lastri bergegas menuju ke kamar tidur ayahnya untuk melihat apakah ia telah menghabiskan kopinya. Namun, Lastri tidak menemukan gelas kopi di sana. Sudah dikelilinginya ruangan itu, tetap juga tidak ditemukan. Angin selentingan membawanya ke dapur dan benar saja, ia mendapati gelas kopi ayahnya tadi telah habis dan hanya tinggal ampasnya saja. Ini sangat membuat hati Lastri senang. “Jadi itu yang membuat ayah bertemu ibu dan ini yang disebut ayah serupa ibuku,” ucap Lastri dalam hati.
***
“Yah, Las besok sudah mulai masuk kuliah. Jadi kalau Las telat untuk membuatkan Ayah kopi, maaf ya, Yah,” ucap Lastri lirih
Mendengar ucapan Lastri, anaknya, wajah Pak Opi langsung berubah lesu karena setelah Lastri bisa membuat kopi yang serupa istrinya, ia selalu mengopi tepat waktu. Bahkan Lastri sudah tahu kapan saja waktunya. Tanpa Pak Opi meminta, anaknya sudah siap dengan segelas kopi itu. Melihat anaknya yang akan segera berkegiatan dan kembali melanjutkan studinyi, di lain sisi menyenangkan hatinya dan di lain sisi menyedihkan hatinyakarena kopi pasti akan pernah terlambat, bahkan mungkin tidak sama sekali.
Melihat wajah ayahnya yang langsung berubah lesu karena takut tidak bisa mengopi tepat waktu lagi, Lastri teringat salah satu warung yang juga bisa menyediakan kopi. Itu adalah tempat langganan sang ibu dulu untuk membeli kopi dan gula. Setelah berbicara empat mata dengan ayahnya, Lastri pun pergi ke warung.
“Selamat siang, Bu. Di sini bisa mesan kopi kan, Bu?” tanya Lastri sopan
“Bisa, Dek. Buat Adek kah?” jawab ibu pemilik warung
“Bukan, Bu tapi untuk ayah saya, Pak Opi. Ibu kenal?” balas Lastri
“Oh jadi untuk Pak Opi toh, suaminya Bu Ana, ya?” ibu pemilik warung memastikan
“Iya, Bu. Ibu kan kenal dengan ibu saya. Kalau ayah saya beli kopi di sini bisa tidak ibu membayangkan sedikit tentang ibu saya dan apa yang paling ibu ingat, maka lakukanlah itu saat ibu buat kopi untuknya,” jelas Lastri yang sedikit membingungkan ibu warung
Ibu warung pun meng-iya-kan apa yang diinginkan Lastri. Bergegaslah Lastri pulang dan kembali menemui ayahnya yang sedang terduduk lesu.
“Yah, Ayah jangan khawatir. Jika aku tidak ada di rumah dan jadwal Ayah mengopi telah datang. Ayah mampir saja ke warung sebelah karena saya juga telah membawa ibu ke sana,” jelas Lastri
Mendengar ucapan Lastri Pak Opi seakan terkejut dan bertanya pada hatinya sendiri, “telah membawa istriku?” Pak Opi kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke kamar tidur.
***
 Pagi itu merupakan hari pertama Lastri kuliah setelah beberapa lama libur semester. Lastri ingin pamit pada ayahnya dengan menekukan sedikit wajahnya. “Yah, Las berangkat dulu ya.” Melihat anaknya sepertinya sedang tidak semangat, Pak Opi pun menjawab, “Nah lo, anak Ayah kok wajahnya ditekuk gitu? Semangat donk. Ayah tidak apa-apa kok sendiri di rumah.” Mendengar ucapan ayahnya, barulah Lastri sedikit mengangkat wajahnya, “Tapi Lastri tidak bisa membuatkan Ayah kopi tepat waktu lagi,” balasnya dengan perasaan bersalah. “Tidak apa-apa, Nak. Nanti Ayah pergi ke warung Bu Ani saja.” Jawab Pak Opi dengan penuh senyum. Melihat ayahnya yang demikian membuat Lastri menjadi semangat untuk berangkat kuliah. Berangkatlah Lastri dengan semangat menuju kampusnya.
Tidak beberapa lama setelah Lastri berangkat, Pak Opi pun penasaran dengan perkataan anaknya yang menyatakan telah membawa istriku ke warung Bu Ani. Meski waktunya untuk mengopi belum datang tapi rasa penasaran itu selalu menggerogoti. Pergilah Pak Opi ke warung Bu Ani yang berjarak beberapa rumah saja dari rumahnya. Tidak lupa ia mengunci pintu.
“Bu, pesan kopi satu gelas,” pinta Pak Opi pada Bu Ani, sang pemilik warung
“Oh, iya Pak Opi,” jawab Bu Ani
Teringat perkataan Lastri, kalau ayahnya pesan kopi maka ingatlah ibunya dan lakukanlah apa yang paling teringat dari ibunya. Bu Ani pun melamun sebentar dan memikirkan istri Pak Opi ini. Bu Ani dan istri Pak Opi merupakan teman akrab, jadi tidak susah rasanya bagi Bu Ani untuk mengingatnya.
Benar saja, hanya membutuhkan waktu beberapa menit, Bu Ani telah mendapatkan hal yang selalu dilakukan oleh istri Pak Opi yaitu tersenyum. Maka tersenyumlah Bu Ani ketika membuatkan kopi untuk Pak Opi dan tetap membayangkan betapa baiknya Bu Ana, istrinya Pak Opi. Memang istri Pak Opi terkenal di lingkungan rumahnya sebagai orang yang baik dan ramah.
Selesailah Bu Ani membuat kopi dan langsung mengantarkannya pada Pak Opi. “Ini kopinya, Pak. Selamat menikmati,” ucap Bu Ani ramah. Langsung saja Pak Opi meneguk kopi itu dan sontak ia berkata “ini istriku”, diminumnya seteguk lagi. Lagi-lagi ia berkata “ini istriku”. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Pak Opi untuk menghabiskan segelas kopi itu.
Terobatilah segala kesepian yang selama ini ia rasakan, semenjak istrinya meninggal. Namun kali ini dan seterusnya, belaian istrinya selalu ia temukan pada tegukan kopi yang selalu diteguknya. Kasih sayangnya selalu mengalir dan tetap berbahagialah ia pada segelas kopi hitam pekat, istrinya.
***

No comments:

Post a Comment