KOPI
DALAM BALUTAN RINDU
Karya
Zul Adrian Azizam
Segelas
kopi hitam, diseruputnya perlahan karena masih panas. Terlihat asap masih
mengepul tipis di atasnya. Jika waktunya untuk minum kopi telah datang dan
telat saja seseorang mengantarkannya maka ia akan marah besar. Dia sering
disebut Pak Opi oleh orang-orang karena kebiasaannya yang tidak bisa dipisahkan
dengan kopi dan harus tepat waktu. Tidak hanya orang yang serumah dengannya
saja yang paham kebiasaannya, tapi rata-rata semua orang sudah mengetahuinya.
Jika anaknya tidak ada di rumah, dia selalu menyempatkan diri untuk ke warung
langganannya untuk memesan segelas kopi kalau waktunya untuk mengopi telah
datang.
***
Jam
menunjukan pukul 17.32, artinya delapan menit lagi waktunya Pak Opi minum kopi
tapi tidak ada seorang pun di rumah -- hanya ia sendiri. Sambil duduk di
beranda rumah, matanya tak putus melihat ke gang masuk arah rumahnya. “Kemana lah
anak-anak ini, sudah sore belum pulang juga,” omel Pak Opi sendiri yang
sesekali berdiri di depan rumahnya melihat anaknya datang.
Pak
Opi tinggal dengan anak bungsunya yang masih kuliah semester enam. Kedua
anaknya yang lain sudah berkeluarga dan hanya beberapa kali dalam seminggu
mereka melihat ayahnya karena jarak juga yang menjadi alasannya. Ia memiliki
tiga orang anak perempuan dari seorang wanita yang paling ia kasihi. Namun,
tiga tahun yang lalu, Tuhan lebih sayang padanya dan mengambil wanitanya.
Kebiasaan
mengopinya berawal sejak ia menikah dengan istrinya yang sangat lihai meracik
kopi dan sangat sesuai dengan lidahnya. Awalnya ia tidak begitu suka dengan
kopi karena pahit. Pada dua waktu istrinya selalu menyediakannya kopi tanpa
dimintanya; pagi sebelum loper koran mengantarkan koran ke rumahnya dan sore
ketika mentari mulai bersembunyi di balik sisa hari.
Ketika
istrinya menemui Sang Pemiliknya, munculah rasa sedih, risau, dan kosong. Ia
tak tau lagi ingin berbagi rasa dan cerita. Beberapa hari bahkan minggu ia
belum mendapatkan kebiasaannya ketika begitu dimanja dengan segelas kopi oleh
sang istri. Selalu berdiam dirilah ia di dalam kamar. Anak-anaknya belumlah
mengetahui kebiasaannya. Namun pada satu waktu, waktu ia mengopi datang karena
sudah begitu lama ia tak dihangatkan oleh segelas kopi, dimintanya kepada
anaknya untuk membuatkannya segelas kopi.
“Las,
tolong buatkan Ayah segelas kopi, ya. Serupa ibumu,” kata Pak Opi pada Lastri,
anak ketiganya, dengan wajah yang tak sanggup diangkatnya lagi
“Baik,
Yah. Akan Las Buatkan,” jawab Lastri seraya bertanya-tanya dalam hati “serupa
ibu?” yang masih ia belum paham. Bergegaslah ia ke dapur dan membuatkan ayahnya
segelas kopi yang menurut dia ini yang paling nikmat.
Keluarlah
Lastri dari dapur dan menuju kamar ayahnya dengan bergegas. “Yah, ini kopinya,”
Lastri meletakan kopi di meja samping tempat tidur ayahnya. “Iya, Las. Terima
kasih. Nanti Ayah minum,” jawab Pak Opi dengan berusaha bangkit dari tempat
tidurnya. Setelah meletakan kopi dan mendengar ucapan dari ayahnya, ia pun
langsung keluar dan meninggalkan ayahnya dengan segelas kopi berduaan dalam
kamar.
***
Berniat
ingin membersihkan kamar ayahnya, Lastri melihat gelas kopi yang ia buat
kemarin masih terisi penuh. Melihat ayahnya masih tertidur, ia tidak tega untuk
membangunkannya dan menanyakan perihal kopi kemarin. Dia membiarkan kopi itu
dan menunggu ayahnya bangun. Karena alergi terhadap debu, ia tiba-tiba bersin
saat di membersihkan meja kecil di samping tempat tidur Pak Opi. Mendengar
bersin Lastri yang cukup keras, tidak sengaja membangunkan Pak Opi. “Ayah sudah
bangun,” tanya Lastri, polos.
Pak
Opi hanya menoleh dan kembali merebahkan tubuhnya. Sebelum Pak Opi tertidur
lagi, Lastri menyempatkan untuk bertanya mengenai kopi semalam kepadanya. “Yah,
apakah Ayah sudah minum kopi yang Las bikin?” Mendengar pertanyaan itu Pak Opi
hanya menjawab dingin, “sudah”. Tidak puas dengan jawaban itu, Lastri pun
kembali bertanya, “kalau sudah, kenapa kopinya tidak habis, Yah? Padahal ini
dari semalam.” Pak Opi kembli menjawab dengan cetus, “ini tidak serupa ibumu.”
Mendengar
jawaban itu, bergelayutlah pertanyaan di kepalanya, “seperti ibu, apa maksud
ayah?” Diambil dan dibawanyalah kopi yang masih terkesan penuh itu dengan
meninggalkan tanda tanya.
***
Setelah
beberapa hari, Lastri melihat ayahnya masih murung dan tidak lagi memintanya
untuk membuatkannya kopi lagi sejak hari itu. Dia pun heran karena sejak ibunya
meninggal, ayahnya belum bisa semangat lagi meski dengan kopi. “Yah, Ayah mau
Las buatkan kopi?” tanya Lastri pada ayahnya dengan nada pelan. Ayahnya hanya
membalas pertanyaan Lastri dengan tatapan penuh makna. Lastri seakan paham apa
yang diinginkan ayahnya kali ini. Dia bergegas ke dapur namun kali ini dia
tidak langsung mengambil gelas tetapi ia merenung sejenak. Merenungkan sosok
ibunya yang beberapa lalu meninggalkannya dan ayah.
Ditemukannyalah
salah satu kebiasaan yang selalu ibunya lakukan yaitu senyum. Selalu tergurat
senyum di wajah ibunya. Keramahan dan kebaikan tergambar di dalamnya. Itulah
yang ingin ditiru dan dipergunakan oleh Lastri dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan tidak mungkin juga ketika menyiapkan kopi untuk ayahnya. Setelah
merenungkan beberapa saat, barulah ia mengambil gelas untuk membuatkan ayahnya
kopi. Tidak lupa kali ini dengan senyum – khas milik ibu seingatnya. Diaduknya
kopi dan gula dengan air hangat. Meski ia masih belum menjamin ayah menyukainya
tapi dia tetap yakin -- kopi itu akan dilahapnya hingga habis.
“Yah,
ini kopi Las buatkan untuk Ayah,” ucap Lastri sambil meletakan kopi di meja
samping tempat tidur ayahnya
Ayah
hanya melihat saja sambil tiduran. Setelah meletakan kopi itu, Lastri langsung
keluar dan kembali membereskan kerjaan rumah lainnya. Dia berharap ayah
menghabiskan kopi itu. Meski tidak habis, setidaknya bisa menguatkannya
kembali.
Sembari
membereskan pekerjaan rumah, sesekali ia melihat ke kamar ayahnya, apakah Pak
Opi sudah meminum kopi itu. Bahkan sudah sampai, tiga kali ia memerhatikan atau
sudah sekitar sepuluh menit, belum ada ciri-ciri kopi itu telah diseruput.
Melihat demikian, sedikit putus asa lah Lastri. Ia tidak ingin melihat ayahnya
murung lagi dan sakit. Ia berinisiatif untuk membelikan ayahnya obat menambah
nafsu makan. Bergegaslah Lastri menuju apotek dan meninggalkan pekerjaan
rumahnya sejenak. Apotek juga tidak jauh dari rumahnya.
Kembali
dari apotek hal mengejutkan ia lihat di beranda rumah. Lastri melihat ayahnya
duduk dengan wajah begitu berseri dan sangat segar.
“Ayah,
sudah fit lagi?” tanya Las dengan heran
“Alhamdulillah,
seperti yang kamu lihat, Las. Ayah telah bertemu ibumu,” jawab Pak Opi dengan
jelas
Meskipun
sangat jelas, namun jawaban yang diberikan Pak Opi membingungkan Lastri, “telah
bertemu ibu?” apa maksudnya. Pertanyaan itu menggerogoti hatinya sambil tatapan
matanya yang tak terlepas dari ayahnya. Ia pun tidak mau bertanya kepada
ayahnya mengenai bertemu ibu tadi. Dia berusaha mencari jawabannya sendiri.
“Las masuk ke dalam dulu ya, Yah,” ungkap Lastri yang diikuti anggukan pelan
ayahnya.
Lastri
bergegas menuju ke kamar tidur ayahnya untuk melihat apakah ia telah
menghabiskan kopinya. Namun, Lastri tidak menemukan gelas kopi di sana. Sudah
dikelilinginya ruangan itu, tetap juga tidak ditemukan. Angin selentingan
membawanya ke dapur dan benar saja, ia mendapati gelas kopi ayahnya tadi telah
habis dan hanya tinggal ampasnya saja. Ini sangat membuat hati Lastri senang.
“Jadi itu yang membuat ayah bertemu ibu dan ini yang disebut ayah serupa
ibuku,” ucap Lastri dalam hati.
***
“Yah,
Las besok sudah mulai masuk kuliah. Jadi kalau Las telat untuk membuatkan Ayah
kopi, maaf ya, Yah,” ucap Lastri lirih
Mendengar
ucapan Lastri, anaknya, wajah Pak Opi langsung berubah lesu karena setelah
Lastri bisa membuat kopi yang serupa istrinya, ia selalu mengopi tepat waktu.
Bahkan Lastri sudah tahu kapan saja waktunya. Tanpa Pak Opi meminta, anaknya
sudah siap dengan segelas kopi itu. Melihat anaknya yang akan segera
berkegiatan dan kembali melanjutkan studinyi, di lain sisi menyenangkan hatinya
dan di lain sisi menyedihkan hatinyakarena kopi pasti akan pernah terlambat, bahkan
mungkin tidak sama sekali.
Melihat
wajah ayahnya yang langsung berubah lesu karena takut tidak bisa mengopi tepat
waktu lagi, Lastri teringat salah satu warung yang juga bisa menyediakan kopi.
Itu adalah tempat langganan sang ibu dulu untuk membeli kopi dan gula. Setelah
berbicara empat mata dengan ayahnya, Lastri pun pergi ke warung.
“Selamat
siang, Bu. Di sini bisa mesan kopi kan, Bu?” tanya Lastri sopan
“Bisa,
Dek. Buat Adek kah?” jawab ibu pemilik warung
“Bukan,
Bu tapi untuk ayah saya, Pak Opi. Ibu kenal?” balas Lastri
“Oh
jadi untuk Pak Opi toh, suaminya Bu Ana, ya?” ibu pemilik warung
memastikan
“Iya,
Bu. Ibu kan kenal dengan ibu saya. Kalau ayah saya beli kopi di sini bisa tidak
ibu membayangkan sedikit tentang ibu saya dan apa yang paling ibu ingat, maka
lakukanlah itu saat ibu buat kopi untuknya,” jelas Lastri yang sedikit
membingungkan ibu warung
Ibu
warung pun meng-iya-kan apa yang diinginkan Lastri. Bergegaslah Lastri pulang
dan kembali menemui ayahnya yang sedang terduduk lesu.
“Yah,
Ayah jangan khawatir. Jika aku tidak ada di rumah dan jadwal Ayah mengopi telah
datang. Ayah mampir saja ke warung sebelah karena saya juga telah membawa ibu
ke sana,” jelas Lastri
Mendengar
ucapan Lastri Pak Opi seakan terkejut dan bertanya pada hatinya sendiri, “telah
membawa istriku?” Pak Opi kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke
kamar tidur.
***
Pagi itu merupakan hari pertama Lastri kuliah
setelah beberapa lama libur semester. Lastri ingin pamit pada ayahnya dengan
menekukan sedikit wajahnya. “Yah, Las berangkat dulu ya.” Melihat anaknya
sepertinya sedang tidak semangat, Pak Opi pun menjawab, “Nah lo, anak
Ayah kok wajahnya ditekuk gitu? Semangat donk. Ayah tidak apa-apa kok
sendiri di rumah.” Mendengar ucapan ayahnya, barulah Lastri sedikit mengangkat
wajahnya, “Tapi Lastri tidak bisa membuatkan Ayah kopi tepat waktu lagi,”
balasnya dengan perasaan bersalah. “Tidak apa-apa, Nak. Nanti Ayah pergi ke
warung Bu Ani saja.” Jawab Pak Opi dengan penuh senyum. Melihat ayahnya yang
demikian membuat Lastri menjadi semangat untuk berangkat kuliah. Berangkatlah
Lastri dengan semangat menuju kampusnya.
Tidak
beberapa lama setelah Lastri berangkat, Pak Opi pun penasaran dengan perkataan
anaknya yang menyatakan telah membawa istriku ke warung Bu Ani. Meski waktunya
untuk mengopi belum datang tapi rasa penasaran itu selalu menggerogoti.
Pergilah Pak Opi ke warung Bu Ani yang berjarak beberapa rumah saja dari
rumahnya. Tidak lupa ia mengunci pintu.
“Bu,
pesan kopi satu gelas,” pinta Pak Opi pada Bu Ani, sang pemilik warung
“Oh,
iya Pak Opi,” jawab Bu Ani
Teringat
perkataan Lastri, kalau ayahnya pesan kopi maka ingatlah ibunya dan lakukanlah
apa yang paling teringat dari ibunya. Bu Ani pun melamun sebentar dan
memikirkan istri Pak Opi ini. Bu Ani dan istri Pak Opi merupakan teman akrab,
jadi tidak susah rasanya bagi Bu Ani untuk mengingatnya.
Benar
saja, hanya membutuhkan waktu beberapa menit, Bu Ani telah mendapatkan hal yang
selalu dilakukan oleh istri Pak Opi yaitu tersenyum. Maka tersenyumlah Bu Ani
ketika membuatkan kopi untuk Pak Opi dan tetap membayangkan betapa baiknya Bu
Ana, istrinya Pak Opi. Memang istri Pak Opi terkenal di lingkungan rumahnya
sebagai orang yang baik dan ramah.
Selesailah
Bu Ani membuat kopi dan langsung mengantarkannya pada Pak Opi. “Ini kopinya,
Pak. Selamat menikmati,” ucap Bu Ani ramah. Langsung saja Pak Opi meneguk kopi
itu dan sontak ia berkata “ini istriku”, diminumnya seteguk lagi. Lagi-lagi ia
berkata “ini istriku”. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Pak Opi untuk
menghabiskan segelas kopi itu.
Terobatilah
segala kesepian yang selama ini ia rasakan, semenjak istrinya meninggal. Namun
kali ini dan seterusnya, belaian istrinya selalu ia temukan pada tegukan kopi
yang selalu diteguknya. Kasih sayangnya selalu mengalir dan tetap berbahagialah
ia pada segelas kopi hitam pekat, istrinya.
***