Sunday, March 19, 2017

LELAKI SI PENEKUR KENANGAN



LELAKI SI PENEKUR KENANGAN
Karya: Zul Adrian Azizam

Seorang lelaki berdiri di depan kafe dengan sesekali melihat jam tangannya. Sudah berpuluh orang lalu-lalang keluar masuk kafe itu. Kafe berinterior klasik itu sering diminati oleh masyarakat karena kekhasannya. Kafe yang berdiri sejak 1973 itu terus menampilkan karakteristiknya hingga kini. Tidak anak muda masa kini saja pengunjungnya tapi anak muda berpuluh tahun lalu juga sering mengunjunginya. Entah hanya sekadar minum kopi kenangan atau kembali ingin merasai masa yang luput dalam catatan.
Lelaki ini terus berdiri. Tak jarang mata pelayan terarah panjang padanya. Hingga kafe itu hampir tutup lelaki itu masih saja berdiri. Seorang pelayan yang tak ingin ditundukkan rasa heran memberanikan diri bertanya padanya.
“Maaf, Tuan. Dari tadi saya melihat Tuan hanya berdiri di depan kafe ini. Padahal kafe ini sebentar lagi akan tutup. Adakah seseorang yang hendak Tuan tunggu?” Tanya pelayan dengan menatap bola mata lelaki itu
Lelaki itu cuma memerhatikan sejenak dan kemudian kembali berpaling menatapi setiap sudut jalan dan kendaraan yang lewat. Pelayan masih setia menunggu penjelasannya. Beberapa saat dia hanya mengamati lelaki itu. Terdengar dari dalam kafe senyap terdengar suara memanggil nama pelayan ini. Sepertinya itu suara atasannya. Sebelum menemui atasannya, pelayan ini kembali memastikan pada lelaki itu.
“Tuan, kafe ini akan segera kami tutup. Apa Tuan benar-benar tidak ingin ke dalam?” tanya sang pelayan pada lelaki itu
“Tutuplah,” jawab lelaki itu singkat tanpa melihat ke arah pelayan
Pelayan pun bergegas masuk ke dalam dan menemui atasannya. Dia dengan pelayan lain mulai membereskan kafe untuk segera ditutup karena sudah cukup malam dan jalanan mulai sepi.
            “Tuan, saya pulang ya. Tuan masih di sini? Saya hidupkan lampu besar ini dan silakan Tuan duduk di sini,” ucap pelayan dengan penuh keramahan sambil mengeluarkan salah satu kursi dari dalam kafe.
            “Iya, terima kasih,” lelaki ini kembali menjawabnya dengan cepat dan singkat
Pelayan itu pun berlalu dan hilang dalam tatapan. Lelaki itu duduk di kursi yang disediakan pelayan tadi dan menatap dengan sangat dalam lampu jalan depan kafe itu. Ya lampu jalan di sekitaran kafe itu berumur sama dengan kafe tersebut atau mungkin lebih tua. Dia seolah melihat cerminan kehidupannya dari dulu. Banyak kenangan yang bersembunyi dalamnya. Dia pun berdiri dan mendekat ke arah lampu itu.
***
Pagi itu seperti pagi-pagi biasanya. Pelayan mulai membuka kafe karena biasanya pagi sudah banyak yang menunggu untuk minum kopi. Dilihatnya kursi yang semalam sengaja ia keluarkan untuk lelaki misterius itu masih berada di samping kafe. Ada noda merah di atasnya, sepertinya tulisan bertuliskan ‘terima kasih’ yang sedikit kurang jelas. Mendapati hal seperti itu muncul keheranan di benak pelayan itu. “Dengan apa lelaki itu menuliskan ini?” pikirnya. Tidak mau larut dengan itu dan menghambat kerjaannya, dia pun melupakan sejenak peristiwa itu dan memasukkan kembali kursi itu kemudian lanjut kerja.
Kafe hari itu cukup ramai, sehingga sang pelayan sedikit terlupa kisah semalam. Dilayaninya satu per satu dengan sabar. Meja-maeja tampak terisi penuh sehingga tampak beberapa orang hendak masuk namun kembali keluar. Kondisi semacam ini sudah sering terjadi tiap harinya saat jam makan siang. Biasanya ini berlangsung hanya sampai pukul 14.00 setelah itu kembali normal. Banyak yang ingin bernostalgia, banyak yang ingin mengenang, dan banyak yang ingin kembali menyibak masa lalu.
***
Kafe sudah cukup sepi karena bulan telah mulai merangkak ke singgasananya. Pelayan kafe itu mulai merapikan kembali seraya menunggu beberapa pengunjung yang masih menikmati santap malamnya. Tak sengaja si pelayan melempar pandangannya ke tempat yang semalam ia melihat lelaki berdiri. Dia pun merasa sedikit heran karena di sana kini ditempati seorang wanita berpakaian rapi, berdiri tepat di tempat yang sama dengan lelaki kemarin. Matanya tidak terlepas sambil tangannya membersihkan meja. “Itu siapa?” tanya hatinya heran.
Wanita itu hanya berdiri di depan kafe sambil sesekali memelototi jam tangan di tangan kanannya. Matanya tertuju ke setiap lelaki yang lewat di depannya. Tidak beberapa muncul seorang lelaki berpakaian rapi dengan stelan jas mendekatinya dan lanjut mengajaknya pergi. “Ternyata dia tidak ada hubungannya dengan lelaki semalam,” ujar sang pelayan dalam hati
Tak beberapa lama setelah wanita itu pergi, lelaki yang berdiri bak patung semalam datang lagi. Ini mengejutkan sang pelayan. “Siapa yang dia tunggu dari semalam,” tanya si pelayan pada hatinya. Ulah lelaki itu sama dengan yang ia lakukan semalam.
“Hendak menunggu siapa, Tuan?” tanya pelayan pada lelaki itu
Lelaki itu hanya memalingkan wajahnya. Namun kali ini sang pelayan sangat penasaran. Diturutinyalah ke mana arah pandang lelaki itu dan terus-terus mengulang pertanyaan serupa. Tak beberapa lama lelaki itu menyauti dengan nada keras dan mata yang melotot, “apa pentingnya kau mengetahui ini?”
Sang pelayan berusaha tetap tenang. “Tuan, bukan saya ingin mencampuri urusan Tuan, tapi mana tau saya bisa membantu,” jawabnya dengan sangat tenang dan berwibawa, mengalahkan tampilan wibawa lelaki itu. Sesaat tatapan saling beradu. Sang lelaki pun memalingkan wajahnya.
“Baiklah kalau Tuan tidak ingin menceritakannya. Saya ke dalam dulu,” ujar pelayan itu dengan sangat sopan
Sang Lelaki tak menghiraukan, matanya tetap terpaku pada seisi jalan.Sang Lelaki tak menghiraukan, matanya tetap terpaku pada seisi jalan. Bulan sudah memayunginya bahkan angin sudah mengelilingi dengan hangat. Ia masih tetap setia menanti. Kafe itu sesaat lagi akan tutup karena tak ada lagi pengunjung, stok makanan pun sudah habis.
Pertama kalinya, lelaki itu melongok ke dalam kafe dan hal itu terlihat oleh pelayan. Pelayan itu pun langsung menghampiri, “ada apa, Tuan?” tanya dengan santun. “Tidak, saya hanya ingin bertanya, adakah wanita yang makan di dalam atau menunggu di luar?” tanya lelaki itu. Mendengar pertanyaan lelaki itu, ingatan pelayan ini langsung terhempas pada sesosok wanita yang tadi menunggu di depan kafe dan berlalu bersama lelaki yang bukan dia.
“Maaf, ciri-cirinya seperti apa, Tuan?” tanya pelayan ini memastikan
“Dia berparas cantik, pakaiannya selalu rapi karena itu permintaanku, dan mengenakan jam di tangan kanannya, itu pemberianku,” deskripsi lelaki itu
Ternyata wanita yang dilihat pelayan tak beberapa saat sebelum lelaki itu datang adalah yang dicarinya sedari kemarin. Si pelayan bingung apa ia harus mengatakan dengan sejujurnya dengan membuatnya sedikit luka atau mendustainya dengan membuatnya selalu menanti dalam ketidakpastian. Akhirnya dia memutuskan...
“Iya, Tuan. Tidak beberapa saat sebelum Tuan datang, dia menanti juga di sini,” jelas si pelayan
“Ah, pasti dia sedih dan marah karena terlalu lama menanti. Kita ingin mengulang kisah di bawah temaram lampu jalan depan kafe ini. Ah, salahku. Maafkan aku sayang,” jelasnya seraya menekuri kepala
“Tapi Tuan, setelah itu saya melihatnya pergi dengan lelaki yang bukan kau,” tambah si pelayan
“Apa? Ini salah dosaku sehingga dia marah begitu besar. Terima kasih,” jawab lelaki itu
Pelayan pamit ke dalam untuk mengambil barang-barangnya dan bergegas pulang karena sudah cukup larut. Dia pamit dengan lelaki yang masih menekuri nasib di bawah lampu jalan.
***
Keesokan harinya, berlalu seperti biasanya. Pelayan berkemas sebelum membuka kafe pagi hari. Lampu jalan memang sudah tidak menyala lagi karena matahari sudah berangsur menampakkan diri. Dipersiapkannya segala susuatu yang nanti akan diperjualbelikan. Karyawan lain pun berdatangan. Tulisan ‘closed’ pun diarahkan ke dalam, kafe pun dibuka untuk khalayak. Tidak disangka, pengunjung pertama yang datang adalah wanita yang kemarin menunggu di depan kafe dan berlalu bersama lelaki.
“Hendak memesan apa, Nyonya?” tanya pelayan dengan sedikit membungkukkan badan
“Saya sedang menunggu orang, sementara saya pesan teh tawar hangat saja,” ujar wanita itu dengan sedikit ketus
Sepertinya sang wanita memesan teh tawar hangat bukan tanpa alasan. Dalam menu makanan dan minuman yang diletakkan di masing-masing meja tercantum pernyataan free teh tawar ─ selebihnya berbayar.
“Itu saja, Nyonya?” tanya pelayan memastikan
“Iya,” jawabnya singkat
Tak beberapa lama yang dipesan sang wanita pun datang. Tampak kepulan asap tipis mengepul di atasnya. “Ini pesanannya, Nyonya. Selamat menikmati”, ucap si pelayan. Sang wanita hanya sedikit menganggukkan kepala sambil matanya tetap memelototi gadgetnya.
Diaduk-aduknya teh tawar itu. Tampak kenangan di setiap kepulan asap tipis itu, ditiupnyalah hingga ia hiang. Seruputan pertama dilaluinya dengan begitu hangat namun diseruputan kedua ia tersedak dan memutuskan untuk menyudahi menenggaknya.
Belum ada pengunjung lain berdatangan. Tak berapa lama masuk sesosok lelaki dan langsung menuju meja sang wanita. “Sepertinya itu bukan lelaki semalam, bukan juga lelaki yang membawa sang wanita berlalu kemarin” pikir si pelayan. Lelaki itu duduk sebentar dan sepertinya mereka sedang mengobrolkan beberapa hal penting karena cukup berbisik. Berdirilah mereka berdua dan berlalu ke luar kafe dan menghilang di telan angin pagi.
***
Senja menjelang, hari mulai gelap. Lampu jalan semuanya telah menyala kecuali yang di depan kafe. “Kenapa di sini masih gelap, sedangkan lampu jalan sekitar sudah menyala terang” pikir pelayan. Tidak menunggu waktu lama si pelayan memeriksa keluar dan melihat ke arah lampu jalan depan kafe itu. Sontak saja, si pelayan merasa kaget karena tak menemukan lampu, hanya tiang tersisa. Si pelayan langsung mengadukan pada atasannya. Atasannya memerintahkan ia untuk memeriksa di rekaman CCTV melihat kejadian apa terjadi yang mengakibatkan lampu jalan itu tidak lagi di posisinya.
Diamatinyalah rekaman CCTV itu menit per menit hingga sampailah di satu waktu, tepatnya cukup malam dan sepi. Seorang lelaki memanjat tiang itu dan mengambil lampu dengan memutus aliran listrikya. Sepertinya lelaki itu dikenal oleh pelayan ini yaitu lelaki yang beberapa hari belakangan selalu datang dan menunggu di depan kafe. Dilihatnyalah waktu kejadian, persisis beberapa menit sesaat sebelum ia becerita dan pamit pulang pada lelaki itu.
Dilanjutkannya mengamati rekaman itu, setelah mendapatkan lampu jalan itu, sang lelaki menuju jembatan yang sangat dekat dengan kafe itu sehingga masih sedikit terlacak oleh CCTV. Ternyata ia membuang lampu jalan itu. Dia berjalan pulang dengan sangat gontai dan lenyap di telan rasa.
Tak pernah lelaki itu berdiri dan menunggu di depan kafe lagi tapi sang wanita selalu singgah di kafe berinterior klasik itu dengan memesan teh tawar hangat dan berlalu bersama pria berbeda setiap harinya.
***

 * Cerpen "Lelaki si Penekur Kenangan" dimuat di Harian Singgalang Minggu, 19 Maret 2017. Selamat menikmati kenangan.