KADO
YANG DITUNGGU ITU, KAU
Karya:
Zul Adrian Azizam
Selly
duduk sendiri di teras rumahnya. Matanya tertuju lurus ke sepanjang jalan
rumahnya. Tatapannya tidak kosong tapi berisi tanda tanya. Itu mungkin kali
pertama dia memikirkan hal tersebut. Usianya jugalah yang membuat demikian,
sekarang usianya sudah hampir masuk empat tahun,
Terdengar sayup-sayup suara dari
dalam rumah seperti memanggil nama Selly, “Selly, dimana kamu, Nak?” yang lama
kelamaan makin kencang karena itu adalah suara ibunya yang menghampirinya ke
luar rumah.
“Di sini kamu, Nak. Ibu memanggilmu
dari tadi,” ucap Ibu pada Selly
Ia hanya menatap
ibunya dengan tatapan nanar, tidak ada kata yang keluar meluncur dari mulutnya.
Beberapa saat kemudian, tatapannya kembali menjalar ke sepanjang jalan
rumahnya.
“Sedang apa kamu
duduk sendiri di luar?” tanya ibunya
Dia kembali
memerhatikan ibunya yang bertanya dan kembali pandangannya terlempar ke jalan.
Pandangan itu seakan telah menjawab pertanyaan ibunya, namun sang ibu belum
jugalah paham apa yang dimaksud oleh anaknya.
“Sudah, mari kita ke dalam, Nak.
Hari sudah senja,” ajak ibunya untuk segera masuk ke dalam
Selly pun
mengikuti ajakan ibunya untuk masuk ke dalam walau pandangannya tetap tertancap
pada jalanan. Penantiannya dan pertanyaannya pada jalan belum terjawab.
***
“Mari kita makan dulu, Nak. Ibu
memasak masakan kesukaanmua,” ujar ibunya sembari menyuapi Selly
Tapi untuk hari
itu, Selly sepertinya bukan seperti Selly pada hari-hari biasa. Dia tampak
murung, susah diajak untuk berbicara, bahkan disuapi makanan kesukaannya saja,
dia tidak mau. Biasanya dia sangat aktif, kalau sudah diberikan makanan
kesukaannya, dia bahkan sering tambah dan minta lagi untuk dibuatkan masakan
serupa di esok hari. Tapi pada hari itu tidak.
“Kenapa kamu, Nak? Kamu sakit?”
tanya ibunya sambil meletakan telapak tangannya ke kening Selly
“Kamu tidak panas. Tetapi kamu tidak
mau makan dan tidak mau bicara seperti ini, Nak?” tanya ibunya lagi
Selly hany
tinggala berdua dengan ibunya di sebuah rumah kontrakan yang tidak bisa
dibilang besar namun cukup untuk mereka berdua.
Sesaat setelah ibunya bertanya,
sayup-sayup terdengar oleh Selly seorang pria memanggil namanya dari seberang
jalan. Sontak saja dia bergegas berlari ke luar untuk melihat siapa orang yang
memanggil namanya itu.
Sesampainya di luar, tak ada seorang
pun yang berada di jalan ataupun di dekat rumahnya. Dia kembali duduk di teras
rumahnya. Namun kali ini tidak satu kedip pun ia lepaskan dari jalan. Melihat
anaknya yang tiba-tiba pergi ke luar rumah, ibunya langsung menyusulya.
“Kenapa, Nak? Tiba-tiba kamu
keluar,” tanya ibunya
Melihat ibunya
yang uncul tiba-tiba dari dalam rumah, Selly pun sedikit terkejut. Kali ini dia
merespon pertanyaan ibunya.
“Tadi ayah memanggil Selly, Bu,”
ujarnya dengan rasa penasaran yang tinggi
Pada pukul
24.00 malam itu, tepat Selly berusia empat tahun. Dia sudah mulai berpikir. Ada
harapan yang ingin ia capai.
“Mungkin
ayah ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Selly, Bu,” ucap Selly dengan
penuh harapan
“Selly tidak ingat, apakah ayah juga
mengucapkan selamat ulang tahun kepada Selly ketika Selly berusia satu, dua,
dan tiga tahun. Tapi ada kan, Bu?” pertanyaan Selly yang sontak membuat ibunya
lemas
Itu
bagaikan petir di siang bolong yang dirasakan oleh Ibu Selly. Sudah empat tahun
ia hidup bersama Selly baru kali ini sang anak membuat pertanyaan yang
membuatnya luluh tak beerdaya. Namun ia tidak mau merusak masa-masa kecil
Sally. Dia tetap berusaha untuk membuat Selly bahagia.
“Oh. Ayahmu selalu mengucapkan
selamat untukmu, Nak. Bahkan beliau selalu memberikan kado terindah untukmu,”
penjelasan ibunya dengan nada lirih
“Tapi sekarang ayahmu sedang bekerja
mencar uang untuk sekolahmu nanti, Nak,” tambah Ibu Selly
“Betulkah, Bu? Ayah selalu memberi
ucapan untukku dan memberikan kado?” tanya Selly dengan nada penuh antusias
“Iya, Anakku. Ayahmu selalu berbuat
itu untukmu,” jawab ibunya sembari mengusap lembut rambut anaknya
“Tapi ... Kenapa sekarang ayah tak
mengucapkannya lagi untukku? Secara langsung,” ujar Selly dengan sedikit
menekukan wajahnya
Pandangannya kembali
menuju sudut-sudut jalan yang berada di depan rumahnya. Berharap sang ayah
segera pulang untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
“Ayahmu akan mengucapkannya nanti,
Nak. Ketika kamu sudah terlelap karena saat itulah dia pulang kerja dan berangkat
lagi ketika kau bangun,” jawab ibunya dengan penuh kasih sayang
Ibunya tidak
mau menceritakan kepada anaknya kalau ayahnya sudah meninggal. Dia tidak ingin
melihat anaknya belum siap menerima kenyataan hidupnya karena seorang yatim.
“Nanti kalau ayah datang, tolong
bangunkan Selly ya, Bu. Selly ingin melihat wajah ayah,” permintaan Selly pada
ibunya
“Iya, nanti akan bangunkan kalau
ayahmu datang, Nak. Sekarang masuklah dulu. Habiskan makananmu,” tandas ibunya
“Baik, Bu,” jawab Selly ringkas
Langsung saja
raut wajahnya berubah menjadi bahagia dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk
menghabiskan makanannya yang juga makanan favoritnya.
***
Jam sudah menunjukan pukul 22.00,
tapi Selly belum juga tidur. Tidak seperti biasanya –- pukul 21.00 sudah tidur.
Matanya tetap tertuju pada pintu rumah. Setiap kali terdengar langkah kaki
ataupun suara motor ia selalu terperanjat dari kursinya dan menuju ke luar
rumah. Namun lagi-lagi kekecewaan yang ia dapat.
“Bu, kenapa ayh belum juga datang?
Selly sudah ngantuk,” tanya Selly pada ibunya
“Ayahmu masih kerja, Nak. Dia belum
pulang. Kalau kamu ngantuk, tidur saja dulu, nanti ibu bangunkan,” jawab ibunya
“Benar ya, Bu? Nanti Ibu bangunkan
kalau ayah datang,” ucap Selly memastikan seraya menatap dalam mata ibunya
Selly pun mulai
merebahkan tubuhnya, di pangkuan sang ibu dengan wajah penuh harap. Tergores
tanda tanya di keningnya hingga saat itu. Tapi di raut wajah sang ibu juga
tergores beban-beban kehidupan. Di kepalanya terpikir bagaimana caranya
mengembalikan sesosok ayah ke kehidupan anaknya. Walau hanya untuk malam itu.
“Apa yang harus aku lakukan Tuhan?
Hamba tidak ingin melihat anak hamba sedih” Aduanya pada Allah Swt.
Jam sudah
hampir menunjukan pukul 23.59, artinya hari pertukaran usia Selly sesaat lagi
akan terjadi. Tetapi belum ada apapun yang dilakukan ibu untuk kembali
mengadakan sang ayah di hari bahagianya.
Terlintas olehnya, diambilnya
secarik kertas dan dituliskannya “Selamat
ulang tahun anakku. Semoga kau semakin pintar dan cantik. Jangan pernah melawan
pada ibumu. Maaf ayah belum bisa bertemu denganmu saat ini, karena beberapa
alasan yang tidak bisa ayah ungkapkan. Jadilah anak kebanggan kami. Tertanda
Ayah yang sangat menyayangimu.”
Secarik kertas itu diletakan di
bawah bantal Selly yang apabila pagi nanti terbangun, dia langsung mendapati
tulisan itu.
***
Jam baru menunjukan pukul 5.00,
Selly terbangun dan menanti ibunya yang sedang shalat untuk menanyakan sesuatu.
“Bu. Ayah tidak jadi ke sini?”
“Ayahmu sudah datang malam tadi,
Nak. Itu dia titip surat untukmu di bawah bantal”
“Kenapa ibu tidak membangunkanku?”
“Ibu sudah membangunkanmu, tapi
tidurmu sangat nyenyak,”
Bergegaslah
Selly menuju tepat tidur dan memeriksa surat yang ibunya maksud. Dibacanya
surat itu dengan seksama, seketika air mata mengucur deras dari matanya.
“Ibu bohong. Selly tidak mnginginkan
kado, ucapan atau apapun. Selly hanya ingin kehadiran ayah,” ucap Selly dengan
terisak
Sontak saja
mendengar ucapan Selly seperti itu, rumah mungil itu seketika banjir oleh air
mata.
***
Dimuat di Surat Kabar Medan Pos edisi Minggu, 10 Maret 2019. Selamat membaca dan menarik kesimpulan.