Sunday, March 10, 2019

KADO YANG DITUNGGU ITU, KAU


KADO YANG DITUNGGU ITU, KAU
Karya: Zul Adrian Azizam

Selly duduk sendiri di teras rumahnya. Matanya tertuju lurus ke sepanjang jalan rumahnya. Tatapannya tidak kosong tapi berisi tanda tanya. Itu mungkin kali pertama dia memikirkan hal tersebut. Usianya jugalah yang membuat demikian, sekarang usianya sudah hampir masuk empat tahun,
            Terdengar sayup-sayup suara dari dalam rumah seperti memanggil nama Selly, “Selly, dimana kamu, Nak?” yang lama kelamaan makin kencang karena itu adalah suara ibunya yang menghampirinya ke luar rumah.
            “Di sini kamu, Nak. Ibu memanggilmu dari tadi,” ucap Ibu pada Selly
Ia hanya menatap ibunya dengan tatapan nanar, tidak ada kata yang keluar meluncur dari mulutnya. Beberapa saat kemudian, tatapannya kembali menjalar ke sepanjang jalan rumahnya.
            “Sedang apa kamu duduk sendiri di luar?” tanya ibunya
Dia kembali memerhatikan ibunya yang bertanya dan kembali pandangannya terlempar ke jalan. Pandangan itu seakan telah menjawab pertanyaan ibunya, namun sang ibu belum jugalah paham apa yang dimaksud oleh anaknya.
            “Sudah, mari kita ke dalam, Nak. Hari sudah senja,” ajak ibunya untuk segera masuk ke dalam
Selly pun mengikuti ajakan ibunya untuk masuk ke dalam walau pandangannya tetap tertancap pada jalanan. Penantiannya dan pertanyaannya pada jalan belum terjawab.
***
            “Mari kita makan dulu, Nak. Ibu memasak masakan kesukaanmua,” ujar ibunya sembari menyuapi Selly
Tapi untuk hari itu, Selly sepertinya bukan seperti Selly pada hari-hari biasa. Dia tampak murung, susah diajak untuk berbicara, bahkan disuapi makanan kesukaannya saja, dia tidak mau. Biasanya dia sangat aktif, kalau sudah diberikan makanan kesukaannya, dia bahkan sering tambah dan minta lagi untuk dibuatkan masakan serupa di esok hari. Tapi pada hari itu tidak.
            “Kenapa kamu, Nak? Kamu sakit?” tanya ibunya sambil meletakan telapak tangannya ke kening Selly
            “Kamu tidak panas. Tetapi kamu tidak mau makan dan tidak mau bicara seperti ini, Nak?” tanya ibunya lagi
Selly hany tinggala berdua dengan ibunya di sebuah rumah kontrakan yang tidak bisa dibilang besar namun cukup untuk mereka berdua.
            Sesaat setelah ibunya bertanya, sayup-sayup terdengar oleh Selly seorang pria memanggil namanya dari seberang jalan. Sontak saja dia bergegas berlari ke luar untuk melihat siapa orang yang memanggil namanya itu.
            Sesampainya di luar, tak ada seorang pun yang berada di jalan ataupun di dekat rumahnya. Dia kembali duduk di teras rumahnya. Namun kali ini tidak satu kedip pun ia lepaskan dari jalan. Melihat anaknya yang tiba-tiba pergi ke luar rumah, ibunya langsung menyusulya.
            “Kenapa, Nak? Tiba-tiba kamu keluar,” tanya ibunya
Melihat ibunya yang uncul tiba-tiba dari dalam rumah, Selly pun sedikit terkejut. Kali ini dia merespon pertanyaan ibunya.
            “Tadi ayah memanggil Selly, Bu,” ujarnya dengan rasa penasaran yang tinggi
Pada pukul 24.00 malam itu, tepat Selly berusia empat tahun. Dia sudah mulai berpikir. Ada harapan yang ingin ia capai.
“Mungkin ayah ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Selly, Bu,” ucap Selly dengan penuh harapan
            “Selly tidak ingat, apakah ayah juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada Selly ketika Selly berusia satu, dua, dan tiga tahun. Tapi ada kan, Bu?” pertanyaan Selly yang sontak membuat ibunya lemas
Itu bagaikan petir di siang bolong yang dirasakan oleh Ibu Selly. Sudah empat tahun ia hidup bersama Selly baru kali ini sang anak membuat pertanyaan yang membuatnya luluh tak beerdaya. Namun ia tidak mau merusak masa-masa kecil Sally. Dia tetap berusaha untuk membuat Selly bahagia.
            “Oh. Ayahmu selalu mengucapkan selamat untukmu, Nak. Bahkan beliau selalu memberikan kado terindah untukmu,” penjelasan ibunya dengan nada lirih
            “Tapi sekarang ayahmu sedang bekerja mencar uang untuk sekolahmu nanti, Nak,” tambah Ibu Selly
            “Betulkah, Bu? Ayah selalu memberi ucapan untukku dan memberikan kado?” tanya Selly dengan nada penuh antusias
            “Iya, Anakku. Ayahmu selalu berbuat itu untukmu,” jawab ibunya sembari mengusap lembut rambut anaknya
            “Tapi ... Kenapa sekarang ayah tak mengucapkannya lagi untukku? Secara langsung,” ujar Selly dengan sedikit menekukan wajahnya
Pandangannya kembali menuju sudut-sudut jalan yang berada di depan rumahnya. Berharap sang ayah segera pulang untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
            “Ayahmu akan mengucapkannya nanti, Nak. Ketika kamu sudah terlelap karena saat itulah dia pulang kerja dan berangkat lagi ketika kau bangun,” jawab ibunya dengan penuh kasih sayang
Ibunya tidak mau menceritakan kepada anaknya kalau ayahnya sudah meninggal. Dia tidak ingin melihat anaknya belum siap menerima kenyataan hidupnya karena seorang yatim.
            “Nanti kalau ayah datang, tolong bangunkan Selly ya, Bu. Selly ingin melihat wajah ayah,” permintaan Selly pada ibunya
            “Iya, nanti akan bangunkan kalau ayahmu datang, Nak. Sekarang masuklah dulu. Habiskan makananmu,” tandas ibunya
            “Baik, Bu,” jawab Selly ringkas
Langsung saja raut wajahnya berubah menjadi bahagia dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk menghabiskan makanannya yang juga makanan favoritnya.
***
            Jam sudah menunjukan pukul 22.00, tapi Selly belum juga tidur. Tidak seperti biasanya –- pukul 21.00 sudah tidur. Matanya tetap tertuju pada pintu rumah. Setiap kali terdengar langkah kaki ataupun suara motor ia selalu terperanjat dari kursinya dan menuju ke luar rumah. Namun lagi-lagi kekecewaan yang ia dapat.
            “Bu, kenapa ayh belum juga datang? Selly sudah ngantuk,” tanya Selly pada ibunya
            “Ayahmu masih kerja, Nak. Dia belum pulang. Kalau kamu ngantuk, tidur saja dulu, nanti ibu bangunkan,” jawab ibunya
            “Benar ya, Bu? Nanti Ibu bangunkan kalau ayah datang,” ucap Selly memastikan seraya menatap dalam mata ibunya
Selly pun mulai merebahkan tubuhnya, di pangkuan sang ibu dengan wajah penuh harap. Tergores tanda tanya di keningnya hingga saat itu. Tapi di raut wajah sang ibu juga tergores beban-beban kehidupan. Di kepalanya terpikir bagaimana caranya mengembalikan sesosok ayah ke kehidupan anaknya. Walau hanya untuk malam itu.
            “Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Hamba tidak ingin melihat anak hamba sedih” Aduanya pada Allah Swt.
Jam sudah hampir menunjukan pukul 23.59, artinya hari pertukaran usia Selly sesaat lagi akan terjadi. Tetapi belum ada apapun yang dilakukan ibu untuk kembali mengadakan sang ayah di hari bahagianya.
            Terlintas olehnya, diambilnya secarik kertas dan dituliskannya “Selamat ulang tahun anakku. Semoga kau semakin pintar dan cantik. Jangan pernah melawan pada ibumu. Maaf ayah belum bisa bertemu denganmu saat ini, karena beberapa alasan yang tidak bisa ayah ungkapkan. Jadilah anak kebanggan kami. Tertanda Ayah yang sangat menyayangimu.”
            Secarik kertas itu diletakan di bawah bantal Selly yang apabila pagi nanti terbangun, dia langsung mendapati tulisan itu.
***
            Jam baru menunjukan pukul 5.00, Selly terbangun dan menanti ibunya yang sedang shalat untuk menanyakan sesuatu.
            “Bu. Ayah tidak jadi ke sini?”
            “Ayahmu sudah datang malam tadi, Nak. Itu dia titip surat untukmu di bawah bantal”
            “Kenapa ibu tidak membangunkanku?”
            “Ibu sudah membangunkanmu, tapi tidurmu sangat nyenyak,”
Bergegaslah Selly menuju tepat tidur dan memeriksa surat yang ibunya maksud. Dibacanya surat itu dengan seksama, seketika air mata mengucur deras dari matanya.
            “Ibu bohong. Selly tidak mnginginkan kado, ucapan atau apapun. Selly hanya ingin kehadiran ayah,” ucap Selly dengan terisak
Sontak saja mendengar ucapan Selly seperti itu, rumah mungil itu seketika banjir oleh air mata.
***



Keterangan foto tidak tersedia.
 Dimuat di Surat Kabar Medan Pos edisi Minggu, 10 Maret 2019. Selamat membaca dan menarik kesimpulan.