Saturday, June 11, 2016

HILANG

HILANG
                                                          

Batu besar penopang badan
enggan beranjak, berjalan
tertatih-tatih -- ringkih.
Dalam lamunan bait
tertulis indah
***
            Pintu rumah itu masih tertutup rapat ketika aku melewati rumah yang cukup besar bersama ibu. Di halaman yang cukup luas itu terlihat suram dan kotor. Rumput-rumput liar mnggerorogoti hampir seluruh halaman yang sudah tumbuh tinggi dan rapat. Seketika aku tertegun dan menatap ke arah ibu yang juga terlihat termenung dengan pandangan selalu mengarah ke rumah tersebut. Seperti rumah yang tidak ada yang mengurusi. Memang rumah itu sudah tidak ada yang mendiami setelah kami pindah dari rumah itu.
            Rumah yang penuh kenangan bagi kami. Sudah hampir 10 tahun kami meninggalkan rumah. Berarti sudah 10 tahun jugalah rumah itu kosong. Dulu kami tinggal di rumah itu sebagai pekerja untuk membantu membersihkan rumah dan pekerjaan rumah tangga lainnya atau sering disebut pembatu. Suka duka kami lalui bersama di rumah itu. Bahkan kenangan yang tak terlupakan sekalipun.
            “Bu, sudah 10 tahun kita meninggalkan rumah ini, tampaknya tidak mengalami perubahan selain semak belukar yang merajalela dan warna cat yang sudah memudar dan mengelupas.” Ujarku pada ibu
Memang rumah itu dulunya sangatlah bagus, dengan halaman yang cukup besar, ditanami berbagai macam bunga yang indah yang kami rawat bersama – bersama sang majikan juga. Dengan warna cat yang sangat bernilai estetis hingga sedap dipandang,
            “Iya, Nak. Apa sekarang mereka baik-baik saja?” ibu menanggapi
Pikiran ibu sepertinya kembali ke masa beberapa tahun silam. Kami pun duduk sambil mengamati sisi demi sisi rumah yang oenuh dengan kenangan.
***
Sejak usiaku 4 bulan dalam kandungan aku sudah ditinggal oleh ayah yang “katanya” pergi merantau untuk menafkahi kami. Tetapi nyatanya lebih dari satu tahun tidak sepersen pun kiriman yang ibu terima. Bahkan kabar pun tidak ada.
Sebelumnya kami tinggal di rumah reot yang bocor dan becek ketika hujan. Untuk makan ibu hanya mengandalkan daun pepaya dan apapun itu yang penting bisa dimakan dan dimasak, hingga aku terlahir. Masuk usiaku 3 bulan ibu mulai bekerja untuk keluarga Pak Mojo dan Bu Aci demi memenuhi kebutuhan kami. Ibu memasak, menyapu, menyiram bunga, dan sebagainya. Semua dikerjakan oleh ibu dengan senang hati dan ikhlas. Ini dikarenakan Pak Mojo dan Bu Aci telah mempersilakannya untuk tinggal di rumah besar mereka. Awalnya canggung memang karena peralihan dari rumah – apakah dapat dikatakan rumah, ke rumah gedongan.
Awalnya ibu cuma melongo melihat betapa besarnya rumah Pak Mojo dan Bu Aci yang aku masih dalam gendongan ibu dan belum tau apa-apa. Bahkan dengan perabotan yang ada di rumah itu tampak asing bagi ibu. Mesin cuci misalnya, jangankan pernah menggunakannya, melihatnya saja itu pertama kali bagi ibu. Beruntung Pak Mojo dan Bu Aci mengajarkan ibu dengan sabar dan memahami kondisinya.
***
            Ibu memulai pekerjaannya dengan cekatan dan beruntung di kala itu aku yang masih kecil tidak rewel mungkin paham dengan kondisi ibu – anak baik. Sesibuk apapun ibu, dia tidak akan pernah lupa untuk berinteraksi denganku walau dengan mencubit sayang pipi bakpaoku.
            Bu Aci juga terkenal baik dan ramah, dia selalu menggendngku, mengajak aku bermain di kala dia tidak sibuk dan ibu mengerjakan perkerjaannya. Asupan giziku juga diperhatikannya, mulai dari susu hingga vitamin maupun protein yang menunjang pertumbuhan balita. Dia menganggapku seperti anaknya sendiri karena beliau masih belum dikaruniai anak oleh Sang Pencipta. Ibuku pun juga tidak melarang jika Bu Aci membawaku bermain bahkan ke tempat kerjanya karena melihat aku yang tidak rewel.
            “Bu, Retno-nya saya bawa ke tempat kerja ya, Bu.” Permintaan izin Bu Aci kepada ibu
Ibu pun mempersilakannya dan sebelum pergi ibu membisikkan ke telingaku “ndhok, di sana jangan nakal dan rewel ya. Meskipun aku tak tau artinya dulu. Ibu pun memasangkan baju yang paling bagus kami miliki agar Bu Aci tidak malu membawa saya ke kantornya dengan pakaian yang tidak bagus.
            “Kami berangkat ya, Bu” Bu Aci pamit pada ibu
Kecupan sayang pun mendarat di keningku sebelum Bu Aci naik ke mobilnya.
            “Iya, Bu. Hati-hati ya, Bu. Titip anak saya.” Jawab ibu
            “Iya, Bu jangan khawatir, Retno akan saya jaga karena dia sudah saya anggap seperti anak sendiri.” Jawab Bu Aci
Ibu begitu senang dengan keluarga barunya karena mereka tidak mengganggap kami sebagai seorang pembantu melainkan menganggap kami sebagai keluarganya sendiri.
***
            Pada ulang tahunku yang ke-7, Pak Mojo dan Bu Aci juga membuatkan kami acara kecil-kecil – menurut mereka, tapi menurut kami itu adalah acara yang langka dan besar. Acara tiup lilin dan potong kue meskipun cuma kami berempat yang mengetahui itu tapi itu sudah sangat luar biasa buat aku dan ibu. Itu saat yang tak pernah terlupakan olehku dan ibu.
Dengan usiaku yang telah masuk 7 tahun, berarti sudah 7 tahun jugalah kami tinggal bersama Pak Mojo dan Bu Aci dan aku pun juga sudah memasuki usia sekolah. Mereka juga membiayai sekolahku; seragam, buku, dan uang sekolah. Mereka benar-benar menganggap dan menyayangi aku seperti anak kandungnya sendiri. Jika ada kebutuhanku yang kurang, mereka langsung memenuhi. Mereka sangat memanjakanku, pun demikian, aku tidak pernah memintanya. Aku tidak mau terlahir sebagai anak manja dan serba dicukupi. Aku tetap bekerja keras membantu ibu, meskipun semampuku saja.
Niat ikhlas dan selalu jujur pasti akan selalu diberi kemudahan oleh Tuhan, itu ucapan yang selalu dibisikkan oleh ibu kepadaku. Ucapan yang tak kan pernah terlupakan. Itu merupakan wejangan yang selalu kupegang erat untuk menatap masa depan yang mencekam – sepertinya.
            Waktu itu hari minggu, sekolah libur, itu merupakan kesempatanku untuk membantu ibu dan sedikit meringankan pekerjaannya. Kucabuti rumput liar di antara bunga-bunga indahnya Bu Aci, menyapu kamar yang juga kamar Bu Aci dan Pak mwskipun tinggian sapu dari tinggi badanku. Tapi tak apa, semuanya dikerjakan dengan senang hati dan riang gembira. Pekerjaan kuanggap seperti bermain tapi dengan tidak main-main. Itu semata demi ibu.
            Setelah merasa kamar Bu Aci telah bersih, lelah menggerogoti tubuhku, hingga terlelap di atas kasurnya yang empuk dan nyaman. Tak terasa sudah lebih satu jam aku tertidur dan beruntung Bu Aci belum pulang karena segan kalau Bu Eci melihat aku tidur di atas kasurnya, meskipun tidak memarahiku.
            Malam itu, tepat puku 07.00 dan itu merupakan jam makan malam bersama – seperti itulah setiap harinya. Meskipun status kami berbeda dengan Bu Aci dan Pak Mojo, beliau menyuruh kami untuk makan semeja dengannya. Tapi malam itu berbeda dari malam-malam sebelumnya.
            Bu Aci tiba-tiba muncul dari kamar dengan raut wajah kesal. “Siapa yang mencuri perhiasanku? Siapa yang sudah masuk ke kamarku?” Begitu mengejutkan memang, Bu Aci berubah derastis dari yang biasanya sangat sangat baik, tiba-tiba berubah bak monster. Kami berdua hanya tertunduk, merasa tersudutkan karena cuma kami berdua di rumah saat itu. Bu Aci dan Pak Mojo pergi kerja.
            Mata Bu Aci teruju tajam pada ibu. Tak terlpas sedikit pun hingga ibu sedikit memberikan penjelasan. “Maaf, Bu. Kami tidak mencuri perhiasan ibu. Dari tadi kami hanya bekerja, jangankan mengambil, memegang barang-barang mewah ibu saja kami tak berani.” Bu Aci sepertinya belum Puas dengan jawaban ibu, “terus siapa yang mengambil, hantu? Kan kalian berdua ada di rumah ini seharian tadi.” bentak Bu Aci. Sebelumnya belum pernah kami melihat Bu Aci semarah ini.
            “Bu, dari tadi saya hanya bekerja di dapur dan halaman saya tidak adak masuk ke kamar ibu. Tapi tadi saya melihat Retno ketiduran di kamar ibu, tapi saya biarkan saja sampai dia terbangun.” Jawab ibu. Aku hanya melongo melihat keduanya. Sedangkan Pak Mojo berusaha menenangkan isterinya, “Sudahlah, Bu. Mana tau kamu salah meletakkannya. Tidak mungkin mereka yang mengambilnya.”
            Tapi Bu Aci tetap keukeuh kalau itu perbuatan kami. “Tidak Pak. Ibu meletakkannya tadi di atas meja rias. Apalagi cuma mereka berdua di rumah ini.” tambah Bu Aci
Kami pun kembali tertunduk seraya berdoa meminta petunjuk-Nya. Mungkin Tuhan mengijabah doa kami tetapi dengan jalan yang berbeda. Ucapan yang keluar dari mulut Bu Aci yang sangat mengejutkan kami, “Bu, kami sudah berbesar hati mau menerima kalian di sini dan menganggap kalian seperti keluarga sendiri, tapi ini balasan kalian,” tegas Bu Aci dengan nada tinggi yang serak
            “Ibu!” teriak Pak Mojo
            “Apa yang kau katakan?”
            “Iya Pak, mereka sudah dapat dipercaya lagi, mungkin ini lebih baik.” jawab Bu Aci
            “Baiklah, Bu. Kami akan pergi. Terimakasih atas kasih sayang yang telah kalian berikan selama ini dan maaf atas segala kesalahan kami,” ucap lirih ibu sambil menitikkan air mata dan menggenggam erat tanganku.
            “Sudahlah!” jawab singkat Bu Aci yang langsung pergi menuju kamarnya
Kami pun berjalan keluar dengan rintik-rintik air mata membasahi pipi ibu. Aku pun dengan lugu bertanya, “ibu kenapa? Kenapa Bu Aci mengusir kita?”
            “Tidak ada apa-apa, ndhok. Ini lebih baik buat kita.” jawab ibu
Kita pun meninggalkan rumah dan tnggal di gubung kita dahulu hingga sekarang.
***
            Hanya urai mata yang selalu keluar jika kami melintas di depan rumah kenangan itu. Bukan air mata benci tapi air mata rasa sayang kami kepada keluarga Pak Mojo dan Bu Aci. Tak mudah membalas jasa mereka buat kita.
            “Itu adalah rumah sejarah kita yang penuh kenangan ya, ndhok. Sama halnya dengan gubuk kita yang peuh keharmonisan.
            “Iya, Bu.” jawabku ringkas
            Kami pun berdiri dan aku pun menghapus air mata ibu dan kembali melanjutkan perjalanan. Mata ibu belum terlepas dari rumah itu sampai aku meneur ibu untuk kembali bercerita lainnya.
***

* Cerpen "Hilang" dimuat di koran Metro Andalas edisi Jumat, 10 Juni 2016