DUA BUTIRAN AIR
Karya: Zul Adrian Azizam
Apa yang terpikirkan tentang hujan?
Ketika itu, Jen memandang
ke arah luar dari jendela kamarnya. Rerintik air yang membasahi bumi. Kala itu
ia sudah berusia 21 tahun, tapi belum mampu untuk mendefinisikan: apa itu
hujan?
Kesendirian memang hal
yang paling mengerikan oleh seseorang, tapi karena kesendiriannya sekaranglah
yang membuatnya sedikit demi sedikit paham tentang hujan. Rahmat Allah yang
sering tidak disadari oleh setiap insan, bahkan menjadi bahan kutukan di kala
ia datang sebagai penghalang (Sungguh Allah itu Maha Adil, tetapi juga menjadi
salah satu ucapan dalam doa jika kegersangan melanda. Apa yang diinginkan
manusia? Sungguh Allah Maha Mengetahuinya.
***
Di sela-sela
kesendiriannya, Jen menyibukan diri dengan membuat goresan-goresan dalam kanvas
dan memberikan warna agar menambah nilai keindahan dan membuatnya menjadi lebih
hidup. Jen memang gemar melukis. Dinding kamarnya penuh dihiasi beberapa
lukisan karyanya. Itu kepuasan sendiri memang. Apalagi dalam kesendirian.
Kali ini Jen membuat
sebuah pemandangan sebuah desa yang begitu asri dan indah, dihiasi berbagai
pepohonan. Dimulai dari membuat lekukan dan membentuk gunung yang menjulang
tinggi bersama matahari pagi. Tidak lupa sawah-sawah yang hijau bersama
pengairan yang setia membasahinya. Begitu pula halnya petani yang sedang
semangatnya memanen padi yang di tengah-tengahnya terdapat gubuk. Itu bukan
gubuk derita. Itu gubuk bukti perjuangan seorang orangtua demi anak-anaknya
tercinta.
Juga terlihat langit biru
dan awan-awan putih yang sangat nyaman di mata. Dan tidak mau terlupakan
olehnya, dia melukiskan sepasang burung yang ssedang asyik bercengkrama di
langit biru. Dia tidak mau kesepian juga menimpa burung-burung terbang.
Sepertinya lukisannya
hampir selesai. Warna sudah mulai melekat pada lukisannya. Agar lebih sempurna,
Jen mengamati dengan seksama lukisannya. Tiba sebuti air menetes dari tubuhnya
dan mengenai lukisannya. Keringatnya menetes di antara gambar gubuk dan
hijaunya padi dan mengakibatkan warna cokelat dari gubuk dan hijau padi menjadi
tercampur dan menimbulkan corak warna lain, yang menghilangkan nilai estetika
lukisannya. Padahal dia sudah membuatnya dengan begitu hati-hati.
“Ah, kenapa ini terjadi?
Siapa yang menginginkan sebutir keringat membasahi lukisanku dan membuat
semuanya hancur.” Ucapnya kesal dengan raut wajah memerah
Diletakkannya lukisan tersebut di atas meja dan
diposisikan berdiri. Diperhatikannya seraya menenangkan diri. Disandarkannya
tubuh mungilnya pada dinding kamar, matanya melihat ke atas seakan berpikir dan
mencoba menelaah.
“Lukisan ini merupakan pengharapanku, keringat ini ujian
Tuhan. Apakah Tuhan mengacaukan
harapanku? Ah tidak. Pasti ada maksud lain dalam ujian ini.” Pikirnya
Lukisan itu tetap dihargainya. Dipeluknya dan
diperhatikannya dan memeluknya lagi. “semoga ada pembelajaran di balik ini
semua,” harapnya. Dipajangnya lukisan tersebut bersama lukisan-lukisannya yang
lain. Agak sedikit berbeda memang. Terlihat lukisan lainnya terpadupadan dalam
permainan warna dan gambarnya. Tapi juga tidak kalah indahnya.
***
Minggu pagi tiba-tiba Jen
ingin berolaraga walau cuma mengitari komplek rumahnya. Dipersiapkannya segala
sesuatunya. Tidak lupa air minum dan handuk untuk menyeka keringatnya nanti.
Setelah shalat subuh, dia
mulai untuk berolahraga, dimulai dari lari-lari kecil untuk memanaskan kondisi
tubuhnya agar tidak cidera. Lama kelamaan dia menambah kecepatannya. Dia
menargetkan dapat mengitari 4 kali. Dia mulai dengan semangat.
Putaran pertam dilaluinya
dengan baik. Dia ambil handuk kecil yang tergantung di lehernya yang bertujuan
untuk menyeka keringatnya, tetapi anehnya tidak ada satu pun buliran keringat
yang membasahi badannya.
“Ah, mungkin ini, karena
baru satu putaran.” Dia tetap berpikir positif untuk itu.
Dilanjutkannya untuk putaran berikutnya hingga tiga putaran tanpa berhenti.
Sudah sampai tiga putaran, dia berhenti dan meminum minuman yang sudah dibawa
dan kembali memperhatikan tubuhnya. Lagi-Lagi tanpa keringat. “sudah tiga
putaran kenapa keringat ini juga belum keluar. Aku sangat mengharapkan tubuh
ini basah oleh keringat. Apa aku sakit?” pikirnya.
Dia belum mau untuk
melanjutkan satu putaran lagi. Dia mendudukan tubuhnya di tepi jalan sambil
berpikir sejenak.
“Ada apa yang terjadi dengan tubuhku? Apa aku sakit?”
lagi-lagi pertanyaan itu terlontar oleh hatinya.
“Apa ini juga ujian Tuhan?”
“Oh Tuhan, dengan keringat dan tanpa keringat, kau uji
Hamba. Tak ada rasa syukur yang Hamba ucapkan.”
“Maafkan Hamba Tuhan,” pintanya pada Sang Kuasa
Dulu dia diuji ketika keringat – tidak bisa dibilang keringat, cuma sebutir
air – menghujami lukisannya dan mengubah
segalanya. Sekarang tidak sebutir pun diberikan Tuhan, dia pun masih
menggerutu. Apa yang diinginkan manusia?
Jen masih terduduk lesu
karena takut penyakit menggerogoti tubuhnya sebab tak sebutir keringat pun
terproduksi oleh tubuhnya.
***
Apa yang terpikirkan tentang hujan?
Begitu pula hujan.
Terkadang mendapatkan serapah karena datang di saat yang tidak diingini tetapi
di lain sisi ada pihak yang meyukurinya karena datang di saat yang tepat. Saat
kesendirian melanda hujanlah yang setia menemani tetapi di lain sisi, ada pihak
yang ingin pergi ke luar jalan bersama teman-temannya dan hujan menjadi musuh
yang sangat dibenci. Hujan dapat membatalkan semuanya. Hujan juga menjadikan
kesunyian menjadi lebih bersuara.
Jen, kembali ditemani
hujan dari balik jendela kamarnya. Memerhatikan dengan seksama butiran demi
butiran dan mengenang kejadian demi kejadian yang berkaitan dengan air. Hujan
adalah air. Keringat adalah air. Keduanya benar-benar sama.
“Aku lebih mengenal hujan,
tapi keringatku belum mengenaliku. Apa kedua macam air itu berbeda. Tapi kenapa
sama-sama dibenci dan diingini.” Bahasa hati Jen
Sejak dua peristiwa itu
menghampir Jen. Dia tidak mau lagi mengumpat atas apa yang dikaruniai Tuhannya
kepadanya. Dia berusaha untuk menyukuri semuanya. Sekarang Jen lebih menghargai
hujan, begitu pula keringat. Tidak ada perbedaan di atara keduanya. Cuma
pengharapan manusialah yang mengakibatkan keduanya berbeda.
***
*Cerpen "Dua Butiran Air" dimuat di koran Metro Andalas edisi Jumat, 15 Juli 2016. Selamat Membaca.