Friday, July 15, 2016

DUA BUTIRAN AIR



DUA BUTIRAN AIR
Karya: Zul Adrian Azizam


Apa yang terpikirkan tentang hujan?
            Ketika itu, Jen memandang ke arah luar dari jendela kamarnya. Rerintik air yang membasahi bumi. Kala itu ia sudah berusia 21 tahun, tapi belum mampu untuk mendefinisikan: apa itu hujan?
            Kesendirian memang hal yang paling mengerikan oleh seseorang, tapi karena kesendiriannya sekaranglah yang membuatnya sedikit demi sedikit paham tentang hujan. Rahmat Allah yang sering tidak disadari oleh setiap insan, bahkan menjadi bahan kutukan di kala ia datang sebagai penghalang (Sungguh Allah itu Maha Adil, tetapi juga menjadi salah satu ucapan dalam doa jika kegersangan melanda. Apa yang diinginkan manusia? Sungguh Allah Maha Mengetahuinya.
***
            Di sela-sela kesendiriannya, Jen menyibukan diri dengan membuat goresan-goresan dalam kanvas dan memberikan warna agar menambah nilai keindahan dan membuatnya menjadi lebih hidup. Jen memang gemar melukis. Dinding kamarnya penuh dihiasi beberapa lukisan karyanya. Itu kepuasan sendiri memang. Apalagi dalam kesendirian.
            Kali ini Jen membuat sebuah pemandangan sebuah desa yang begitu asri dan indah, dihiasi berbagai pepohonan. Dimulai dari membuat lekukan dan membentuk gunung yang menjulang tinggi bersama matahari pagi. Tidak lupa sawah-sawah yang hijau bersama pengairan yang setia membasahinya. Begitu pula halnya petani yang sedang semangatnya memanen padi yang di tengah-tengahnya terdapat gubuk. Itu bukan gubuk derita. Itu gubuk bukti perjuangan seorang orangtua demi anak-anaknya tercinta.
            Juga terlihat langit biru dan awan-awan putih yang sangat nyaman di mata. Dan tidak mau terlupakan olehnya, dia melukiskan sepasang burung yang ssedang asyik bercengkrama di langit biru. Dia tidak mau kesepian juga menimpa burung-burung terbang.
            Sepertinya lukisannya hampir selesai. Warna sudah mulai melekat pada lukisannya. Agar lebih sempurna, Jen mengamati dengan seksama lukisannya. Tiba sebuti air menetes dari tubuhnya dan mengenai lukisannya. Keringatnya menetes di antara gambar gubuk dan hijaunya padi dan mengakibatkan warna cokelat dari gubuk dan hijau padi menjadi tercampur dan menimbulkan corak warna lain, yang menghilangkan nilai estetika lukisannya. Padahal dia sudah membuatnya dengan begitu hati-hati.
            “Ah, kenapa ini terjadi? Siapa yang menginginkan sebutir keringat membasahi lukisanku dan membuat semuanya hancur.” Ucapnya kesal dengan raut wajah memerah
Diletakkannya lukisan tersebut di atas meja dan diposisikan berdiri. Diperhatikannya seraya menenangkan diri. Disandarkannya tubuh mungilnya pada dinding kamar, matanya melihat ke atas seakan berpikir dan mencoba menelaah.
“Lukisan ini merupakan pengharapanku, keringat ini ujian Tuhan.  Apakah Tuhan mengacaukan harapanku? Ah tidak. Pasti ada maksud lain dalam ujian ini.” Pikirnya
Lukisan itu tetap dihargainya. Dipeluknya dan diperhatikannya dan memeluknya lagi. “semoga ada pembelajaran di balik ini semua,” harapnya. Dipajangnya lukisan tersebut bersama lukisan-lukisannya yang lain. Agak sedikit berbeda memang. Terlihat lukisan lainnya terpadupadan dalam permainan warna dan gambarnya. Tapi juga tidak kalah indahnya.
***
            Minggu pagi tiba-tiba Jen ingin berolaraga walau cuma mengitari komplek rumahnya. Dipersiapkannya segala sesuatunya. Tidak lupa air minum dan handuk untuk menyeka keringatnya nanti.
            Setelah shalat subuh, dia mulai untuk berolahraga, dimulai dari lari-lari kecil untuk memanaskan kondisi tubuhnya agar tidak cidera. Lama kelamaan dia menambah kecepatannya. Dia menargetkan dapat mengitari 4 kali. Dia mulai dengan semangat.
            Putaran pertam dilaluinya dengan baik. Dia ambil handuk kecil yang tergantung di lehernya yang bertujuan untuk menyeka keringatnya, tetapi anehnya tidak ada satu pun buliran keringat yang membasahi badannya.
            “Ah, mungkin ini, karena baru satu putaran.” Dia tetap berpikir positif untuk itu.
Dilanjutkannya untuk putaran berikutnya hingga tiga putaran tanpa berhenti. Sudah sampai tiga putaran, dia berhenti dan meminum minuman yang sudah dibawa dan kembali memperhatikan tubuhnya. Lagi-Lagi tanpa keringat. “sudah tiga putaran kenapa keringat ini juga belum keluar. Aku sangat mengharapkan tubuh ini basah oleh keringat. Apa aku sakit?” pikirnya.
            Dia belum mau untuk melanjutkan satu putaran lagi. Dia mendudukan tubuhnya di tepi jalan sambil berpikir sejenak.
“Ada apa yang terjadi dengan tubuhku? Apa aku sakit?” lagi-lagi pertanyaan itu terlontar oleh hatinya.
“Apa ini juga ujian Tuhan?”
“Oh Tuhan, dengan keringat dan tanpa keringat, kau uji Hamba. Tak ada rasa syukur yang Hamba ucapkan.”
“Maafkan Hamba Tuhan,” pintanya pada Sang Kuasa
Dulu dia diuji ketika keringat – tidak bisa dibilang keringat, cuma sebutir air –  menghujami lukisannya dan mengubah segalanya. Sekarang tidak sebutir pun diberikan Tuhan, dia pun masih menggerutu. Apa yang diinginkan manusia?
            Jen masih terduduk lesu karena takut penyakit menggerogoti tubuhnya sebab tak sebutir keringat pun terproduksi oleh tubuhnya.
***
Apa yang terpikirkan tentang hujan?
            Begitu pula hujan. Terkadang mendapatkan serapah karena datang di saat yang tidak diingini tetapi di lain sisi ada pihak yang meyukurinya karena datang di saat yang tepat. Saat kesendirian melanda hujanlah yang setia menemani tetapi di lain sisi, ada pihak yang ingin pergi ke luar jalan bersama teman-temannya dan hujan menjadi musuh yang sangat dibenci. Hujan dapat membatalkan semuanya. Hujan juga menjadikan kesunyian menjadi lebih bersuara.
            Jen, kembali ditemani hujan dari balik jendela kamarnya. Memerhatikan dengan seksama butiran demi butiran dan mengenang kejadian demi kejadian yang berkaitan dengan air. Hujan adalah air. Keringat adalah air. Keduanya benar-benar sama.
            “Aku lebih mengenal hujan, tapi keringatku belum mengenaliku. Apa kedua macam air itu berbeda. Tapi kenapa sama-sama dibenci dan diingini.” Bahasa hati Jen
            Sejak dua peristiwa itu menghampir Jen. Dia tidak mau lagi mengumpat atas apa yang dikaruniai Tuhannya kepadanya. Dia berusaha untuk menyukuri semuanya. Sekarang Jen lebih menghargai hujan, begitu pula keringat. Tidak ada perbedaan di atara keduanya. Cuma pengharapan manusialah yang mengakibatkan keduanya berbeda.
***

*Cerpen "Dua Butiran Air" dimuat di koran Metro Andalas edisi Jumat, 15 Juli 2016. Selamat Membaca.