DIA YANG INGIN KEMBALI PADA
RATAPNYA SENDIRI
Karya:
Zul Adrian Azizam
Ratusan
orang lalu lalang di depan sebuah kafe bernuansa klasik. Setiap orang yang akan
masuk selalu dibukakan oleh pelayan. Siang itu kafe cukup ramai. Dipenuhi
orang-orang yang sedang menyantap makan siang. Ada pula sepasang kekasih yang
hanya sekadar beradu tatap. Sesekali tangannya pun tak ingin kalah saing dengan
mata. Di depannya ada buku menu yang belum sempat ditatapnya.
“Maaf,
Tuan ingin pesan apa?” tanya pelayan.
Sontak, mereka
pun terkaget dan melepaskan segalanya. Sang lelaki menatap tajam ke arah
pelayan. Ia menampakkan wajah ketidaksukaan. Dipandangnya beberapa detik.
“Apapun itu. Terpenting kau cepat pergi dari sini.” Pelayan hanya terdiam. Baru
kali ini ia mendapat perlakuan seperti ini dari pengunjung.
“Ada
yang salah dengan saya, Tuan?” tanya pelayan seraya membungkukkan badannya.
Mendengar
pertanyaan tersebut membuat sang lelaki semakin naik pitam. Dia kembali
memandang pelayan dengan tajam dan tangannya mengepal kuat seakan bom mentah
itu siap untuk didaratkan. “Hei, apa kau tak mendengar jawaban saya tadi.
Terserah. Cepat pergi dari sini!” Wanita di sampingnya berusaha menenangkannya.
Dipegang eratnya kepalan tangan sang lelaki dengan kedua tangannya.
“Saya
pesan taiwanese milk tea saja dua.
Kami sudah kenyang,” ujar sang wanita
“Baik,
Nyonya. Tunggu sebentar,” balas pelayan dengan senyum simpul di bibirnya
Mereka
kembali melanjutkan tatapan yang sempat terputus tadi. Sepasang bola mata itu
mulai mengomunikasikan maksudnya. Kadang membesar dan kadang menyipit. Sesuai
dengan intonasi dan kata yang keluar dari mulut mereka.
“Sudah
berapa lama kita tidak saling pandang seperti ini?” ujar sang lelaki membuka
pembicaraan.
Sang
wanita langsung menundukkan pandangannya. Mulutnya belum mampu menyuarakan
kata-kata. Kali ini tatapannya terpaku pada lantai kayu yang tampak sudah lusuh
itu. Ia seolah-olah melihat lukisan masa lalu yang tak ingin ia kenang. Persis
di bawah mejanya. Lukisan abstrak yang penuh coretan warna. Warna gelap
mendominasi lukisan tersebut. Lukisan yang berlatar hitam itu penuh goresan
warna cokelat, ungu, biru, dan di atasnya bertuliskan nama “Key” dengan warna
merah pekat.
“Kenapa
kau terdiam?” tanya lelaki itu dengan lembut.
Sang
wanita mengangkat dan menengadahkan kepalanya. Ia seperti melihat puluhan nama
wanita di atas sana. Bahkan ada beberapa yang ia kenal. Ia tak mampu melihat
lama. Dipejamkan matanya. Kegelapan dalam benaknya berubah nyanyian-nyanyian
duka. Diselingi tangis yang entah dari mana. Ia coba menikmati kedukaan itu
sejenak dalam pejaman mata. Ia nikmati dengan saksama. Didengarnya dengan lamat
tangisan demi tangisan dan ratapan yang sesekali diiringi umpatan-umpatan. Dia
mencoba menerjemahkan umpatan demi umpatan itu dan disimpannya dalam
ingatannya.
“Ini
minumannya, Nyonya,” suara pelayan membuyarkan lamunannya
“Oh
iya. Terima kasih,” balas sang wanita dengan senyum yang sudah terkelupas
Sang
lelaki hanya mengamatinya dengan rasa heran. Ia biarkan sang wanitanya
mengekspresikan apapun yang dirasakannya. Ia tetap menatap dan mengikat matanya
pada sang wanita. Apa yang ia rasakan
saat ini? Kali ini dia menyimpan satu pertanyaan yang memenuhi pikirannya.
Ia melihat sang perempuannya kembali memejamkan matanya. Ia tidak mau
mengganggunya dulu. Mungkin ia sedang
menormalkan rindu yang menggebu di dadanya.
Sang
wanita kembali memejamkan matanya dan ingin melanjutakn lamunannya tadi. Namun,
ia tak menemukan hal itu. Kali ini dalam lamunannya muncul awan hitam kelam
yang diiringi petir menyelimuti pikirannya. Sesekali bunyi petir itu memekakkan
telinganya. Sontak saja, ia langsung memegangi kedua telinganya. Ia tersentak
dan mengagetkan sang lelaki.
“Ada
apa denganmu?” tanya lelaki itu dengan penuh keseriusan
“Tidak
apa-apa,” jawab sang wanita singkat seraya memandangi teh yang mereka pesan
“Kamu
belum menjawab pertanyaan saya tadi,” sang lelaki mengingatkan dengan lembut
“Mari
kita nikmati teh ini dulu. Selagi hangat,” pinta sang wanita
Sang
lelaki memenuhi permintaan wanitanya. Ia meneguk lebih dulu teh tersebut. Setelah lelaki itu meneguk barulah sang wanita
mendekatkan tangannya pada gelas dan mengangkatnya. Saat akan meneguk dan
mendekati bibir tipisnya, ia melihat di bibir gelas putih itu ada bekas bibir.
Sepertinya bibir wanita karena bergincu. Ia tidak langsung meletakkan gelas
tersebut. Diperhatikannya dengan saksama lekuk demi lekuk bentuk bibir di bibir
gelas petuh itu. Bentuknya beraneka ragam. Ini menandakan bibir yang ada pada
bibir gelas putih itu tidak dimiliki oleh satu wanita. Gincu yang menempel pada
bibir gelas itu juga tidak satu warna. Ada warna cokelat, ungu, dan
biru. Tidak ada yang memakai warna merah. Ia melihat sedikit ke arah sang
lelaki dan kembali memperhatikan gelas putih itu.
“Mengapa
kau tak jadi meminumnya?” tanya lelaki itu heran
Sang
wanita hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap tajam
pada sang lelaki. Hanya dia-lah yang paham makna dari tatapan tajam itu. Lelaki
itu seperti tidak paham arti dari tatapan tajam wanitanya itu. Setelah menatap
tajam kepada sang lelaki, ia kembali melihat ke bibir gelas putih yang dipenuhi
bekas bibir-bibir bergincu. Dalam gelas itu ia melihat air teh yang seharusnya
berwarna cokelat itu menjadi warna merah pekat, sepekat darah. Ia terheran
dengan pikirannya yang memunculkan halusinasi-halusinasi semenjak pertanyaan
pertama yang diajukan lelakinya itu.
“Ada apa denganmu? Ini kan
pertemuan kita pertama setelah sekian lama tak berjumpa,” ujar lelaki itu
dengan tatapan sayu
Lagi-lagi sang wanita tak menjawabnya dengan kata-kata. Ia
kembali menjawabnya dengan tatapan tajam. Tatapan tajam yang hanya dimengerti
oleh dirinya sendiri. Ia kembali menurunkan pandangannya dan memusatkan
pandangan pada teh bergelas putih itu. Ia menguatkan diri itu meminumnya.
Perlahan didekatkannya gelas itu ke bibirnya. Diteguknya sedikit demi sedikit
teh tersebut. Ia rasakan dengan penuh rasa teh itu. Ia merasakan itu bukan
seperti segelas teh yang biasa ia teguk tiap pagi. Ini rasa yang berbeda.
Padahal, teh yang dipesannya kali ini adalah teh yang selalu dipesan dan
diteguknya di setiap kafe yang menyediakan menu itu.
Kali ini tehnya hambar seperti air mata. Padahal warnanya
merah sepekat darah. Ia merenung sejenak. Apa yang terjadi pada dirinya kali
ini. Di pertemuan ini. Ia belum mampu menerka, menerjemah, dan menyimpulkan
yang dialaminya selama di kafe favoritnya itu. Ia masih berusaha bertingkah
normal. Namun, itu hanyalah sebatas usaha. Kehangatan saat awal perjumpaan tadi
tak tampak lagi. Berhganti dengan kedinginan yang belum dipahami oleh sang lelaki.
“Kamu baik-baik saja kan?”
tanya sang lelaki yang masih terheran-heran
“Tidak ada apa-apa kok,”
ujar sang wanita singkat
Mulai mencairnya komunikasi dua sejoli itu dipecah oleh
pengamen yang masuk ke dalam kafe. Pengamen memang dipersilakan masuk di
waktu-waktu tertentu untuk menghibur pengunjung. Pengamen mulai memetik senar
gitarnya dan mulai bernyanyi dengan mengikuti alunan melodi gitar. Sang wanita
mendengarkan dengan baik lagu yang didengarnya. Ada beberapa lirik yang kembali
membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Kau kemas mulutmu
dengan kata manis
Air mata bercucur
deras
Hati ini bukanlah
batu
yang kuat menahan
apapun
Dekap dalam dekat
yang kau lepas
Mengulum janji
kepalsuan
Demi bahagia kau
sendiri
Tangan yang dulu
kau genggam erat
Sekarang perlahan
kau lepaskan
…
Sang wanita kembali masuk dalam dunia lain. Ia melihat
beberapa orang wanita yang menangis di belakang pengamen yang sedang bernyanyi
itu. Ia melihat meronta-ronta dan mencak-mencak seolah sakit yang ia derita tak
tertahankan. Mereka mengenakan pakaian berwarna cokelat, ungu, dan biru. Sang
wanita memalingkan wajahnya kepada pengemis itu. Ia tak kuasa melihat
wanita-wanita itu. Ia melihat wanita-wanita itu tidak berbeda. Memiliki paras
wajah yang sama, bahkan sama dengan dirinya.
“Hei, bisakah kau mengganti lagu itu!” bentak sang lelaki
Sontak pengamen terdiam dan terheran apa yang terjadi. Ia
tidak melanjutkan nyanyiannya. Ia langsung menutup dan berkeliling sambil
menenteng sebuah plastik yang nantinya akan diisi oleh pengunjung dengan uang
seikhlasnya. Kemudian ia langsung keluar dari kafe bernuansa klasih tersebut.
“Mengapa kau suruh dia untuk mengganti lagunya?” wanita itu
menanyakan dengan heran
“Lagu yang tidak nikmat sama sekali. Mengganggu suasana kita
saja,” jawab sang lelaki
Sang wanita tertunduk dan seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Namun, sesuatu itu susah sekali ia ucapkan. Ia kembali memndang sang lelaki
dengan tatapan sayu. Tidak lagi menatapnya dengan tajam.
“Kau masih ingat dengan janjimu dulu? Simpanlah!” ujar sang
wanita kepada sang lelaki dan langsung meninggalkan kafe tersebut
Sang lelaki tercenung, Tak satu bahasa pun mampu ia
keluarkan. Ia hanya mengantar kepergian wanitanya itu hing ke pintu kafe dengan
tatapan penyesalan. Kini ia terduduk seorang diri sambil mengenang masa lalu
dengan dua gelas taiwanese milk tea
dan aroma tubuh wanitanya yang masih tertinggal. Ia menyesali. Ia menyendiri. Dan ia tak ‘kan lagi melupa janji.
***