Saturday, September 24, 2016

TARAJU


TARAJU
Karya: Zul Adrian Azizam
            Rerumputan bergoyang ke sana ke mari mengikuti semilir angin. Saat itu angin berhembus dengan sangat sederhana. Tidak terlalu kencang ataupun pelan. Sehingga menjadi teman berharga bagi anak-anak lapangan. Bukan untuk bermain bola melainkan mencoba menerbangkan sesuatu mengangkasa, bisa jadi itu angan ataupun mimpi. Kondisi angin yang demikian membuat sesutu itu menjadi lebih cepat mengangkasa tanpa harus berputar-putar dulu kemudian menukik dan kembali naik hingga jatuh menyentuh tanah.
***
            Senti demi senti Andri memperhatikan batang bambu yang sepertinya sudah tua. Batang tersebut tepat berada di depan rumahnya. Dia mencoba membayangkan sesuatu dari sebatang bambu itu. Mencoba merenung dan memerhatikan. Tiba-tiba matanya tak sengaja beralih ke langit. Tampak sebuah layang-layang mengudara begitu indahnya, dengan lenggokannya yang sungguh menawan.
Saat itu juga ide menghampiri pikirannya yaitu membuat layang-layang. Belum pernah sebelumnya ia membuat itu tapi pernah membaca tata cara membuatnya di buku pelajaran sekolah dan beberapa kali melihat kakeknya membuat itu untuk di jual. Dulu kakek memang penjual layang-layang di saat barang itu menjadi primadona bagi anak-anak. Tidak sekarang.
Sekarang anak-anak tidak lagi terlalu meminati bermain di lapangan; untuk menerbangkan layangan atau bermain sepak bola. Tempat seperti warnet (warung internet) lebih diminati untuk browsing, game online, dan apapun itu. Mungkin mengikuti perkembangan zaman yang serba teknologi bahkan sepak bola sudah bisa dimainkan di gedget tanpa harus berpanas-panasan. Sudahlah, itu perkembangan zaman, kembali ke cerita layang-layang kakek.
Layang-layang yang dibuat kakek dulu sangat digemari oleh anak-anak di masanya. Berbagai macam dibuatnya ada layang darek, layang maco – entah dari mana asal muasal nama itu, yang bentuknya berbeda-beda. Anak-anak sering memainkan layang maco karena bentuknya yang kecil seperti ketupat dan aman dimainkan anak-anak karena tekanan anginnya tidak terlalu besar. Sedangkan layang darek banyak dimainkan oleh anak remaja hingga orang dewasa karena bentuknya yang cukup besar dan membutuhkan keahlian khusus untuk menerbangkannya.
Andri melihat layang darek di atas sana sehingga juga ingin membuat layangan seperti itu. Tidak terlalu besarlah buat dia yang sudah kelas XI atau dua SMA. Diambilnya parang ke dapur rumahnya dan ditebasnya sebatang bambu yang dirasanya cukup untuk membuat sebuah layang-layang. Kemudian dipotong-potongnyabambu tersebut dan dibuat seperti lidi-lidi yang tipis tapi kuat. Kakeknya hanya melihat dari balik jendela.
Andri masih aman dengan ingatan cara membuat layang-layang. Sampai akhirnya dia mengalami kesulitan dalam menyatukan lidi-lidi dari bambu itu dengan benang. Merasa sudah tidak mampu dia pun langsung memanggil kakek untuk meminta bantuannya.
Angku, bagaimana cara mengikat lidi-lidi bambu ini menjadi layang-layang,” tanya Andri pada kakeknya yang biasa dipanggil Angku
Kakeknya masih terdiam dan terlihat dia sedang tertawa kecil. Andri tidak tau apa yang diketawakan oleh kakeknya.
            “An, kamu sudah kelas XI tapi masih saja belum bisa membuat layang-layang. Angku dari kelas 2 SD sudah bisa membuatnya” ucap kakek pada Andri sembri mengusap kepala sang cucu
Seketika, Andri tertunduk dan terdiam seribu bahasa. Tak ada pembelaan yang ingin dilakukannya. Tidak seperti biasanya yang mempunyai seribu alasan ketika dia merasa tersudut atau disalahkan.
            “Tidak apa-apa, An. Angku salut padamu. Di luar sana tidak banyak yang ingin memainkan ini lagi apalagi membuatnya. Tapi kamu masih berusaha untuk menyelesaikannya sendiri,” puji kakeknya
Sontak, setelah mendengar penjelasan kakeknya, Andri terkejut dan bangkit dari keterdiamannya. Begitu tidak yakinnya Andri menanyakan kembali, “benarkah, Ngku?”, kakek hanya terlihat menganggukan kepala seraya tersenyum.
            Tidak menunggu lama, kakek pun memeriksa yang dikerjakan Andri. Sudah sesuai atau belum. Mulai dari mencek keseimbangan lidi-lidi bambu dan ternyata tatapan tajam kembali mengarah ke Andri.
            “An, ini belum benar. Coba kamu lihat. Sudah seimbang atau belum?” kakek menanyakan kepada Andri sambil kakek meletakkan lidi-lidi bambu di jarinya untuk melihat keseimbangannya. Andri pun memerhatikan dengan seksama.
            “iya ya, Ngku. Tidak seimbang, bagian kanan sepertinya lebih berat daripada yang kiri,” jawab Andri
            Nah, kalau seperti ini harus diraut lagi, An. Biar seimbang dan bisa terbang dengan baik.” penjelasan kakek
Kakek pun memperlihatkan cara merautnya yang benar. Andri memerhatikannya. Tidak sekedip pun ia lewati.
            Sesudah lidi-lidi bambu itu seimbang, kakek mengikatkan satu demi satu agar terbentuk seperti bingkai layang-layang. Kembali Andri hanya mengamati dengan seksama sambil menolongkan kakek untuk mengambilkan apa yang dibutuhkannya.
            Terbentuklah bingkai layang darek, kakek kembali menyerahkan penyelesaiannya kepada Andri.
            “Sudah, An. Ini sudah berbentuk, sekarang giliran kamu memvariasikannya dan menyelesaikannya.” ucap kakek kepada Andri yang kembali masuk ke dalam rumah.
Andri kembali memerhatikan dengan seksama bingkai layang darek tersebut. Memikirkan warna apa yang akan diberikan dan variasinya.
            Tiba-tiba tercetus ide untuk memberikan warna merah dan putih; merah di bagian atasnya dan putih di bagian bawahnya. Terinspirasi dari bendera Indonesia. Sangat nasionalis sekali.
            Andri menggunting kertas minyak agar sesuai dengan pola bingkai layangan dan kemudian merekatkannya dengan lem agar terlihat rapi. Tidak lupa, dia juga memberikan juntaian ekor di paling bawahnya dengan menempelkan guntingan-guntingan kertas minyak hingga terjuntai panjang.
            Tidak membutuhkan lama selesai juga layang-layang hasil buatannya sendiri yang dibantu kakek. Terlihat kepuasan di raut wajahnya. Andri pun ingin memperlihatkannya kepada kakeknya untuk dinilai. Apakah sudah sesuai atau belum. Itu sudah dapat dikatakan layang-layang.
            Ngku, layanganku sudah siap,” ujar Andri pada kakeknya dengan raut wajah senang
Kakek pun melihat hasil kerja sang cucu. Dibolak-baliknyalah layangan tersebut. Setelah melihatnya, kakek melihat pada Andri dan mengatakan, “kerjamu bagus, An.” Jempol pun diacungkan kakek.
            “Sekarang layanganmu sudah jadi, tapi tidak mungkin kamu lihat-lihat sajakan, An? Agar dapat diterbangkan, kamu harus membuat tarajunya. Coba buat.” penjelasan kakek pada Andri sambil menyuruhnya untuk menyelesaikannya agar bisa mengudara.
            “Iya, Ngku. Saya coba untuk membuat tarajunya,” jawab Andri
Andri pun mulai membuat taraju. Dibuatnya lubang di kecil di tengah-tengah layangan (dekat dengan tempat penyilangan rangka bambu), dimasukkannya benang layangan ke lubang dan diikatkan ke titik persilangan, yang kemudian mengikatkan ujung yang lain ke ujung bawah rangka layangan. Kira-kira talinya 90 cm).
            Sepertinya sudah siap untuk mengudara. Tampak Andri sumringah karena menyelesaikan tahap akhir pembuatan layang-layang sebelum diterbangkan. Sebelumnya Andri memberikan ekor di paling bawah layang-layang dengan menempelkan kertas minyak yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan kemudian disambungkan hingga terlihat panjang. Setelah semuanya terselesaikan Andri kembali ingin memperlihatkan kerjanya pada kakek.
            Ngku, layanganku sudah siap dan siap mengudara.” sahut Andri pada kakeknya.
            “Iya, An? Sekarang coba kamu berlari dari ujung sana ke sini sambil memegang tarajunya.” perintah kakek pada Andri
Andri dengan segera berlari sambil memegangi taraju layangannya seperti terbang. Angin saat itu berhembus dengan sederhana. Ternyata layangan sering menukik dan berputar-putar diudara. Tidak bisa mengudara dengan baik.
            “Kenapa layangannya Ngku? Kok tak bisa terbang?” tanya Andri heran pada kakeknya
Kakek pun melihat raut wajah yang penuh tanda tanya dari mata cucunya. “Itu karena kamu tidak seimbang dalam membuat tarajunya; antara yang kanan dan kiri. Sebelum mengikatnya, kamu lihat dulu apakah sudah seimbang yang kiri dan yang kana. Kalau sudah baru kamu ikat.” penjelasan kakek
            “Oh. Seperti itu ya Ngku.” Andri kembali memperbaiki taraju layangannya. Hingga saatnya layangan tersebut benar-benar benar dan bisa untuk terbang
***
            Angin berhembus dengan sederhana. Rerumputan menari-nari dan mentari sudah sedikit bersembunyi di balik awan-awan. Andri membawa layangannya ke lapangan. Ingin menerbangkannya karena sepertinya cuaca sangat mendukung. Diikatkannya tali layangan yangsangat panjang ke taraju. Dia meminta kepada temannya untuk memegang layangannya dan dia siap-siap untuk menariknya. Sekali tarikan saja layangannya mengangkasa. Begitu indah lenggokannya. Dia berusaha untuk menjaganya agar tetap mengudara. Ditarikulurnya benangnya. Sangat senang hati Andri melihat layangannya mengudara tinggi.
            Sedang asyik-asyik bermain, tiba angin kencang datang dan membuat layangannya terbang tidak teratur, terkadang menukik dan naik lagi. Itu terjadi beberapa kali. Sudah ditarikulurnya lagi benang layangannya tapi tidak juga. Sampai akhirnya layangan itu terputus oleh angin yang kencang di atas sana dan tidak sanggup ditopang oleh benang layangannya. Sontak, anak-anak yang asyik bermain dan melihat layangan langsung berhamburan dan mengejar layangan Andri yang putus tertiup angin. Anak-anak terus mengamati arah layangan itu – tak sekedip pun hilang.
            Begitu pula dengan Andri, ia langsung berlari dan mengejar layangannya. Ia tidak mau perjuangannya membuat layang-layang menjadi sia-sia.
            Andri terdiam dan terpaku. Permainan yang sudah dibuatnya dengan susah payah hanya bisa dimainkan beberapa saat saja. Andri langsung pulang ke rumah dengan lesu dan pandangan tertunduk Sambil menendang kerikil-kerikil yang ia lihat.
Sesampainya di rumah, dia tidak langsung masuk ke dalam. Dia duduk dulu di depan rumah dan tiba-tiba kakek mengejutkannya yang kemudian duduk di sampingnya. “mana layanganmu, An?” Awalnya Andri hanya diam dan tertunduk beberapa saat dan kemudian menjawab pertanyaan kakek “Putus karena angin Ngku.
Kakek hanya tertawa dan kemudian berdiri dan melihat langit seraya menghela napas panjang.
“An, layangan itu terbang dan kemudian terputus. Begitu pula dengan manusia, hidup dan kemudian mati. Apabila layangan masih mampu seimbang maka makin lama ia mengudara dengan tenang. Sedikit saja kesenjangan maka itu akan membuatnya menukik dan kemudian terjatuh. Angin menerpa layanganmu dan kemudian terputus. Itu karena tidak seimbang kekuatan tali dengan ukuran layanganmu. Sekarang ini menjadi barang langka. Tidak banyak orang memainkannya dan memahami permainannya.” penjelasan kakek panjang lebar
Andri hanya melongo karena belum terlalu paham dari penjelasan kakek. Kakek pun menimpali penjelasannya tadi “kau akan paham seiring usiamu berjalan, An.” Senyaman apapun kedudukan yang pernah dirasakan tetapi apabila keangkuhan menduduki. Itu tidak akan lama.
***

 * Cerpen "Taraju" dimuat di Harian Singgalang edisi Minggu, 25 September 2016.



Sunday, September 4, 2016

Resensi "Jangan Mudah Menyerah"





Judul                : Jangan Mudah Menyerah
Penulis             : Dwi Suwiknyo
Penerbit           : Genta Group Production
Cetakan           : Pertama, 2016
Halaman          : x + 174 halaman
ISBN               : 978-602-6991-75-1
Peresensi         : Zul Adrian Azizam



DIRI KITA SENDIRI YANG MEMBUAT MAJU ATAU MUNDUR
            Putus asa, kemunduran, ketidakyakinan akan dirinya sendiri barangkali pasti pernah dirasakan oleh setiap yang bergelar manusia. Berdasarkan hal tersebut, penting rasanya manusia membutuhkan sesuatu untuk meningkatkan rasa pesimistis tadi menjadi rasa optimistis. Menilik karena pentingnya sesuatu itu muncullah sebuah buku yang berjudul “Jangan Mudah Menyerah” karya Dwi Suwiknyo. Ini seperti menemukan segelas air di gurun pasir.
            Setiap manusia diciptakan oleh Allah Swt. dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak sedikit juga yang selalu mengutuk hidupnya sendiri karena kekurangan yang ia miliki, seperti tidak melihat sedikit pun kelebihannya. Terpaku pada kekurangan akan membuat selalu merasa kekurangan yang tidak akan merasa cukup. Terlalu terpesona pada kelebihan orang lain juga akan menambah kesedihan
Kini, berhentilah sejenak untuk kembali pada fitrah. Menguatkan hati dan berani mengakui bahwa inilah hidup. Bagaimana pun kondisi saat ini, tak ada yang sia-sia dalam setiap penciptaan. (hal. 11)
Apapun kekurangan yang dimiliki tetap syukuri karena di atas langit masih ada langit, dibawah laut masih ada laut. Allah Swt. tidak sia-sia menciptakan manusia. Tetap mengembalikan diri kepada Yang Kuasa.
Setiap diri ada porsinya, ukuran Allah tidak pernah meleset. (hal. 17)
            Setiap manusia tidak pernah terlepas dari ujian berupa cobaan dan nikmat. Ketika cobaan menimpa hendaknya bersabar dan ketika nikmat menaungi hendaknya bersyukur. Tidak mengumpat di kala dapat cobaan ataupun membusung dada ketika dapat nikmat. Karena bersyukur adalah ciri manusia yang selalu rendah hati. Percayalah, dalam sikap rendah hati akan memancarkan kemuliaan diri. (hal. 26)
            Setiap manusia juga tidak pernah terlepas dari impian agar menjadi kenyataan. Impian, harapan, dan tujuan akan memberikan ruh dalam perjalanan (hal. 56). Impian tidak akan menjadi nyata kalau hanya dibiarkan begitu saja dalam angan tanpa dimulai. Apalagi hanya melamunkan kapan akan dimulai tanpa diawali dengan aksi nyata. Lamunan kosong menghasilkan kekosongan juga. Berhentilah melamun, mulailah bergerak untuk bekerja (hal. 64).
            Ketika memulai harus diawali dengan niat yang baik dan karena Allah Swt., Harapan seringkali tidak menjadi nyata ketika perjuangan baru dilakukan beberapa kali. Tetapi teruslah mencoba dan mencoba sampai titik terang itu datang. Tetapi usaha dengan dengan cara yang sama hanya akan menghasilkan kondisi yang sama pula. Jika cara gagal dipakai kembali untuk menggapai harapan, hasilnya akan kembali gagal. Keberuntungan adalah jalan yang kita dapatkan karena adanya harapan besar (hal. 151).
            Terus menerus berusaha meskipun hasil yang diinginkan belum didapatkan. Tidak berhenti atau menyerah. Selalu memerhatikan hak dan kewajiban sebagai insan di dunia ini. Jangan hanya menuntut hak sedangkan kewajiban tidak dikerjakan. Tidak berhenti untuk menjalani hidup ini adalah bagian dari rasa syukur karena Allah tidak berhenti-hentinya merawat kita. Ya, Allah tidak henti-hentinya merawat kita! (hal. 159).
            Penulis buku “Jangan Mudah Menyerah” ini yaitu Dwi Suwiknyo, sangat baik dalam mengemasnya dengan pengemasan yang menarik dengan visualisasi cerita berbentuk gambar, maupun cerita-cerita narasi yang sangat menginspirasi. Banyak kisah yang dapat kita teladani dalam kehidupan sehari-hari. Tidak merasa kebosanan atau kejenuhan ketika membaca buku ini.
            Biku ini sangat sarat nilainilai motivasi dan keagamaan yang cocok untuk dibaca di setiap kalangan usia. Banyak quote yang dapat diambil dan dijadikan motivasi. Salah satunya yang mendalam yaitu Orang boleh saja meremehkan ikhtiar kita, orang yang iri bisa saja menghalangi ikhtiar kita, mereka bisa menolak argumen-argumen kita, tetapi mereka tidak bisa menolak doa-doa kita. Sebab doa (shalat) adalah cara kita berkomunikasi langsung dengan Allah (hal. 168).

*Dimuat di Harian Singgalang, edisi Minggu, 4 September 2016. Selamat membaca :)