Tuesday, July 30, 2019

DIA YANG INGIN KEMBALI PADA RATAPNYA SENDIRI


DIA YANG INGIN KEMBALI PADA RATAPNYA SENDIRI
Karya: Zul Adrian Azizam

Ratusan orang lalu lalang di depan sebuah kafe bernuansa klasik. Setiap orang yang akan masuk selalu dibukakan oleh pelayan. Siang itu kafe cukup ramai. Dipenuhi orang-orang yang sedang menyantap makan siang. Ada pula sepasang kekasih yang hanya sekadar beradu tatap. Sesekali tangannya pun tak ingin kalah saing dengan mata. Di depannya ada buku menu yang belum sempat ditatapnya.
“Maaf, Tuan ingin pesan apa?” tanya pelayan.
Sontak, mereka pun terkaget dan melepaskan segalanya. Sang lelaki menatap tajam ke arah pelayan. Ia menampakkan wajah ketidaksukaan. Dipandangnya beberapa detik. “Apapun itu. Terpenting kau cepat pergi dari sini.” Pelayan hanya terdiam. Baru kali ini ia mendapat perlakuan seperti ini dari pengunjung. 
“Ada yang salah dengan saya, Tuan?” tanya pelayan seraya membungkukkan badannya.
Mendengar pertanyaan tersebut membuat sang lelaki semakin naik pitam. Dia kembali memandang pelayan dengan tajam dan tangannya mengepal kuat seakan bom mentah itu siap untuk didaratkan. “Hei, apa kau tak mendengar jawaban saya tadi. Terserah. Cepat pergi dari sini!” Wanita di sampingnya berusaha menenangkannya. Dipegang eratnya kepalan tangan sang lelaki dengan kedua tangannya.
“Saya pesan taiwanese milk tea saja dua. Kami sudah kenyang,” ujar sang wanita
“Baik, Nyonya. Tunggu sebentar,” balas pelayan dengan senyum simpul di bibirnya
Mereka kembali melanjutkan tatapan yang sempat terputus tadi. Sepasang bola mata itu mulai mengomunikasikan maksudnya. Kadang membesar dan kadang menyipit. Sesuai dengan intonasi dan kata yang keluar dari mulut mereka.
“Sudah berapa lama kita tidak saling pandang seperti ini?” ujar sang lelaki membuka pembicaraan.
Sang wanita langsung menundukkan pandangannya. Mulutnya belum mampu menyuarakan kata-kata. Kali ini tatapannya terpaku pada lantai kayu yang tampak sudah lusuh itu. Ia seolah-olah melihat lukisan masa lalu yang tak ingin ia kenang. Persis di bawah mejanya. Lukisan abstrak yang penuh coretan warna. Warna gelap mendominasi lukisan tersebut. Lukisan yang berlatar hitam itu penuh goresan warna cokelat, ungu, biru, dan di atasnya bertuliskan nama “Key” dengan warna merah pekat.
“Kenapa kau terdiam?” tanya lelaki itu dengan lembut.
Sang wanita mengangkat dan menengadahkan kepalanya. Ia seperti melihat puluhan nama wanita di atas sana. Bahkan ada beberapa yang ia kenal. Ia tak mampu melihat lama. Dipejamkan matanya. Kegelapan dalam benaknya berubah nyanyian-nyanyian duka. Diselingi tangis yang entah dari mana. Ia coba menikmati kedukaan itu sejenak dalam pejaman mata. Ia nikmati dengan saksama. Didengarnya dengan lamat tangisan demi tangisan dan ratapan yang sesekali diiringi umpatan-umpatan. Dia mencoba menerjemahkan umpatan demi umpatan itu dan disimpannya dalam ingatannya.
“Ini minumannya, Nyonya,” suara pelayan membuyarkan lamunannya
“Oh iya. Terima kasih,” balas sang wanita dengan senyum yang sudah terkelupas
Sang lelaki hanya mengamatinya dengan rasa heran. Ia biarkan sang wanitanya mengekspresikan apapun yang dirasakannya. Ia tetap menatap dan mengikat matanya pada sang wanita. Apa yang ia rasakan saat ini? Kali ini dia menyimpan satu pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Ia melihat sang perempuannya kembali memejamkan matanya. Ia tidak mau mengganggunya dulu. Mungkin ia sedang menormalkan rindu yang menggebu di dadanya.
Sang wanita kembali memejamkan matanya dan ingin melanjutakn lamunannya tadi. Namun, ia tak menemukan hal itu. Kali ini dalam lamunannya muncul awan hitam kelam yang diiringi petir menyelimuti pikirannya. Sesekali bunyi petir itu memekakkan telinganya. Sontak saja, ia langsung memegangi kedua telinganya. Ia tersentak dan mengagetkan sang lelaki.
“Ada apa denganmu?” tanya lelaki itu dengan penuh keseriusan
“Tidak apa-apa,” jawab sang wanita singkat seraya memandangi teh yang mereka pesan
“Kamu belum menjawab pertanyaan saya tadi,” sang lelaki mengingatkan dengan lembut
“Mari kita nikmati teh ini dulu. Selagi hangat,” pinta sang wanita
Sang lelaki memenuhi permintaan wanitanya. Ia meneguk lebih dulu teh tersebut. Setelah lelaki itu meneguk barulah sang wanita mendekatkan tangannya pada gelas dan mengangkatnya. Saat akan meneguk dan mendekati bibir tipisnya, ia melihat di bibir gelas putih itu ada bekas bibir. Sepertinya bibir wanita karena bergincu. Ia tidak langsung meletakkan gelas tersebut. Diperhatikannya dengan saksama lekuk demi lekuk bentuk bibir di bibir gelas petuh itu. Bentuknya beraneka ragam. Ini menandakan bibir yang ada pada bibir gelas putih itu tidak dimiliki oleh satu wanita. Gincu yang menempel pada bibir gelas itu juga tidak satu warna. Ada warna cokelat, ungu, dan biru. Tidak ada yang memakai warna merah. Ia melihat sedikit ke arah sang lelaki dan kembali memperhatikan gelas putih itu.
“Mengapa kau tak jadi meminumnya?” tanya lelaki itu heran
Sang wanita hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap tajam pada sang lelaki. Hanya dia-lah yang paham makna dari tatapan tajam itu. Lelaki itu seperti tidak paham arti dari tatapan tajam wanitanya itu. Setelah menatap tajam kepada sang lelaki, ia kembali melihat ke bibir gelas putih yang dipenuhi bekas bibir-bibir bergincu. Dalam gelas itu ia melihat air teh yang seharusnya berwarna cokelat itu menjadi warna merah pekat, sepekat darah. Ia terheran dengan pikirannya yang memunculkan halusinasi-halusinasi semenjak pertanyaan pertama yang diajukan lelakinya itu.
“Ada apa denganmu? Ini kan pertemuan kita pertama setelah sekian lama tak berjumpa,” ujar lelaki itu dengan tatapan sayu
Lagi-lagi sang wanita tak menjawabnya dengan kata-kata. Ia kembali menjawabnya dengan tatapan tajam. Tatapan tajam yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Ia kembali menurunkan pandangannya dan memusatkan pandangan pada teh bergelas putih itu. Ia menguatkan diri itu meminumnya. Perlahan didekatkannya gelas itu ke bibirnya. Diteguknya sedikit demi sedikit teh tersebut. Ia rasakan dengan penuh rasa teh itu. Ia merasakan itu bukan seperti segelas teh yang biasa ia teguk tiap pagi. Ini rasa yang berbeda. Padahal, teh yang dipesannya kali ini adalah teh yang selalu dipesan dan diteguknya di setiap kafe yang menyediakan menu itu.
Kali ini tehnya hambar seperti air mata. Padahal warnanya merah sepekat darah. Ia merenung sejenak. Apa yang terjadi pada dirinya kali ini. Di pertemuan ini. Ia belum mampu menerka, menerjemah, dan menyimpulkan yang dialaminya selama di kafe favoritnya itu. Ia masih berusaha bertingkah normal. Namun, itu hanyalah sebatas usaha. Kehangatan saat awal perjumpaan tadi tak tampak lagi. Berhganti dengan kedinginan yang belum dipahami oleh sang lelaki.
“Kamu baik-baik saja kan?” tanya sang lelaki yang masih terheran-heran
“Tidak ada apa-apa kok,” ujar sang wanita singkat
Mulai mencairnya komunikasi dua sejoli itu dipecah oleh pengamen yang masuk ke dalam kafe. Pengamen memang dipersilakan masuk di waktu-waktu tertentu untuk menghibur pengunjung. Pengamen mulai memetik senar gitarnya dan mulai bernyanyi dengan mengikuti alunan melodi gitar. Sang wanita mendengarkan dengan baik lagu yang didengarnya. Ada beberapa lirik yang kembali membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Kau kemas mulutmu dengan kata manis
Air mata bercucur deras
Hati ini bukanlah batu
yang kuat menahan apapun

Dekap dalam dekat yang kau lepas
Mengulum janji kepalsuan
Demi bahagia kau sendiri
Tangan yang dulu kau genggam erat
Sekarang perlahan kau lepaskan
Sang wanita kembali masuk dalam dunia lain. Ia melihat beberapa orang wanita yang menangis di belakang pengamen yang sedang bernyanyi itu. Ia melihat meronta-ronta dan mencak-mencak seolah sakit yang ia derita tak tertahankan. Mereka mengenakan pakaian berwarna cokelat, ungu, dan biru. Sang wanita memalingkan wajahnya kepada pengemis itu. Ia tak kuasa melihat wanita-wanita itu. Ia melihat wanita-wanita itu tidak berbeda. Memiliki paras wajah yang sama, bahkan sama dengan dirinya.
“Hei, bisakah kau mengganti lagu itu!” bentak sang lelaki
Sontak pengamen terdiam dan terheran apa yang terjadi. Ia tidak melanjutkan nyanyiannya. Ia langsung menutup dan berkeliling sambil menenteng sebuah plastik yang nantinya akan diisi oleh pengunjung dengan uang seikhlasnya. Kemudian ia langsung keluar dari kafe bernuansa klasih tersebut.
“Mengapa kau suruh dia untuk mengganti lagunya?” wanita itu menanyakan dengan heran
“Lagu yang tidak nikmat sama sekali. Mengganggu suasana kita saja,” jawab sang lelaki
Sang wanita tertunduk dan seolah ingin mengucapkan sesuatu. Namun, sesuatu itu susah sekali ia ucapkan. Ia kembali memndang sang lelaki dengan tatapan sayu. Tidak lagi menatapnya dengan tajam.
“Kau masih ingat dengan janjimu dulu? Simpanlah!” ujar sang wanita kepada sang lelaki dan langsung meninggalkan kafe tersebut
Sang lelaki tercenung, Tak satu bahasa pun mampu ia keluarkan. Ia hanya mengantar kepergian wanitanya itu hing ke pintu kafe dengan tatapan penyesalan. Kini ia terduduk seorang diri sambil mengenang masa lalu dengan dua gelas taiwanese milk tea dan aroma tubuh wanitanya yang masih tertinggal. Ia menyesali. Ia menyendiri. Dan ia tak ‘kan lagi melupa janji.
***

 Dimuat di Medan Pos edisi Minggu, 30 Juli 2019. Selamat membaca :)

Sunday, March 10, 2019

KADO YANG DITUNGGU ITU, KAU


KADO YANG DITUNGGU ITU, KAU
Karya: Zul Adrian Azizam

Selly duduk sendiri di teras rumahnya. Matanya tertuju lurus ke sepanjang jalan rumahnya. Tatapannya tidak kosong tapi berisi tanda tanya. Itu mungkin kali pertama dia memikirkan hal tersebut. Usianya jugalah yang membuat demikian, sekarang usianya sudah hampir masuk empat tahun,
            Terdengar sayup-sayup suara dari dalam rumah seperti memanggil nama Selly, “Selly, dimana kamu, Nak?” yang lama kelamaan makin kencang karena itu adalah suara ibunya yang menghampirinya ke luar rumah.
            “Di sini kamu, Nak. Ibu memanggilmu dari tadi,” ucap Ibu pada Selly
Ia hanya menatap ibunya dengan tatapan nanar, tidak ada kata yang keluar meluncur dari mulutnya. Beberapa saat kemudian, tatapannya kembali menjalar ke sepanjang jalan rumahnya.
            “Sedang apa kamu duduk sendiri di luar?” tanya ibunya
Dia kembali memerhatikan ibunya yang bertanya dan kembali pandangannya terlempar ke jalan. Pandangan itu seakan telah menjawab pertanyaan ibunya, namun sang ibu belum jugalah paham apa yang dimaksud oleh anaknya.
            “Sudah, mari kita ke dalam, Nak. Hari sudah senja,” ajak ibunya untuk segera masuk ke dalam
Selly pun mengikuti ajakan ibunya untuk masuk ke dalam walau pandangannya tetap tertancap pada jalanan. Penantiannya dan pertanyaannya pada jalan belum terjawab.
***
            “Mari kita makan dulu, Nak. Ibu memasak masakan kesukaanmua,” ujar ibunya sembari menyuapi Selly
Tapi untuk hari itu, Selly sepertinya bukan seperti Selly pada hari-hari biasa. Dia tampak murung, susah diajak untuk berbicara, bahkan disuapi makanan kesukaannya saja, dia tidak mau. Biasanya dia sangat aktif, kalau sudah diberikan makanan kesukaannya, dia bahkan sering tambah dan minta lagi untuk dibuatkan masakan serupa di esok hari. Tapi pada hari itu tidak.
            “Kenapa kamu, Nak? Kamu sakit?” tanya ibunya sambil meletakan telapak tangannya ke kening Selly
            “Kamu tidak panas. Tetapi kamu tidak mau makan dan tidak mau bicara seperti ini, Nak?” tanya ibunya lagi
Selly hany tinggala berdua dengan ibunya di sebuah rumah kontrakan yang tidak bisa dibilang besar namun cukup untuk mereka berdua.
            Sesaat setelah ibunya bertanya, sayup-sayup terdengar oleh Selly seorang pria memanggil namanya dari seberang jalan. Sontak saja dia bergegas berlari ke luar untuk melihat siapa orang yang memanggil namanya itu.
            Sesampainya di luar, tak ada seorang pun yang berada di jalan ataupun di dekat rumahnya. Dia kembali duduk di teras rumahnya. Namun kali ini tidak satu kedip pun ia lepaskan dari jalan. Melihat anaknya yang tiba-tiba pergi ke luar rumah, ibunya langsung menyusulya.
            “Kenapa, Nak? Tiba-tiba kamu keluar,” tanya ibunya
Melihat ibunya yang uncul tiba-tiba dari dalam rumah, Selly pun sedikit terkejut. Kali ini dia merespon pertanyaan ibunya.
            “Tadi ayah memanggil Selly, Bu,” ujarnya dengan rasa penasaran yang tinggi
Pada pukul 24.00 malam itu, tepat Selly berusia empat tahun. Dia sudah mulai berpikir. Ada harapan yang ingin ia capai.
“Mungkin ayah ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Selly, Bu,” ucap Selly dengan penuh harapan
            “Selly tidak ingat, apakah ayah juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada Selly ketika Selly berusia satu, dua, dan tiga tahun. Tapi ada kan, Bu?” pertanyaan Selly yang sontak membuat ibunya lemas
Itu bagaikan petir di siang bolong yang dirasakan oleh Ibu Selly. Sudah empat tahun ia hidup bersama Selly baru kali ini sang anak membuat pertanyaan yang membuatnya luluh tak beerdaya. Namun ia tidak mau merusak masa-masa kecil Sally. Dia tetap berusaha untuk membuat Selly bahagia.
            “Oh. Ayahmu selalu mengucapkan selamat untukmu, Nak. Bahkan beliau selalu memberikan kado terindah untukmu,” penjelasan ibunya dengan nada lirih
            “Tapi sekarang ayahmu sedang bekerja mencar uang untuk sekolahmu nanti, Nak,” tambah Ibu Selly
            “Betulkah, Bu? Ayah selalu memberi ucapan untukku dan memberikan kado?” tanya Selly dengan nada penuh antusias
            “Iya, Anakku. Ayahmu selalu berbuat itu untukmu,” jawab ibunya sembari mengusap lembut rambut anaknya
            “Tapi ... Kenapa sekarang ayah tak mengucapkannya lagi untukku? Secara langsung,” ujar Selly dengan sedikit menekukan wajahnya
Pandangannya kembali menuju sudut-sudut jalan yang berada di depan rumahnya. Berharap sang ayah segera pulang untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
            “Ayahmu akan mengucapkannya nanti, Nak. Ketika kamu sudah terlelap karena saat itulah dia pulang kerja dan berangkat lagi ketika kau bangun,” jawab ibunya dengan penuh kasih sayang
Ibunya tidak mau menceritakan kepada anaknya kalau ayahnya sudah meninggal. Dia tidak ingin melihat anaknya belum siap menerima kenyataan hidupnya karena seorang yatim.
            “Nanti kalau ayah datang, tolong bangunkan Selly ya, Bu. Selly ingin melihat wajah ayah,” permintaan Selly pada ibunya
            “Iya, nanti akan bangunkan kalau ayahmu datang, Nak. Sekarang masuklah dulu. Habiskan makananmu,” tandas ibunya
            “Baik, Bu,” jawab Selly ringkas
Langsung saja raut wajahnya berubah menjadi bahagia dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk menghabiskan makanannya yang juga makanan favoritnya.
***
            Jam sudah menunjukan pukul 22.00, tapi Selly belum juga tidur. Tidak seperti biasanya –- pukul 21.00 sudah tidur. Matanya tetap tertuju pada pintu rumah. Setiap kali terdengar langkah kaki ataupun suara motor ia selalu terperanjat dari kursinya dan menuju ke luar rumah. Namun lagi-lagi kekecewaan yang ia dapat.
            “Bu, kenapa ayh belum juga datang? Selly sudah ngantuk,” tanya Selly pada ibunya
            “Ayahmu masih kerja, Nak. Dia belum pulang. Kalau kamu ngantuk, tidur saja dulu, nanti ibu bangunkan,” jawab ibunya
            “Benar ya, Bu? Nanti Ibu bangunkan kalau ayah datang,” ucap Selly memastikan seraya menatap dalam mata ibunya
Selly pun mulai merebahkan tubuhnya, di pangkuan sang ibu dengan wajah penuh harap. Tergores tanda tanya di keningnya hingga saat itu. Tapi di raut wajah sang ibu juga tergores beban-beban kehidupan. Di kepalanya terpikir bagaimana caranya mengembalikan sesosok ayah ke kehidupan anaknya. Walau hanya untuk malam itu.
            “Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Hamba tidak ingin melihat anak hamba sedih” Aduanya pada Allah Swt.
Jam sudah hampir menunjukan pukul 23.59, artinya hari pertukaran usia Selly sesaat lagi akan terjadi. Tetapi belum ada apapun yang dilakukan ibu untuk kembali mengadakan sang ayah di hari bahagianya.
            Terlintas olehnya, diambilnya secarik kertas dan dituliskannya “Selamat ulang tahun anakku. Semoga kau semakin pintar dan cantik. Jangan pernah melawan pada ibumu. Maaf ayah belum bisa bertemu denganmu saat ini, karena beberapa alasan yang tidak bisa ayah ungkapkan. Jadilah anak kebanggan kami. Tertanda Ayah yang sangat menyayangimu.”
            Secarik kertas itu diletakan di bawah bantal Selly yang apabila pagi nanti terbangun, dia langsung mendapati tulisan itu.
***
            Jam baru menunjukan pukul 5.00, Selly terbangun dan menanti ibunya yang sedang shalat untuk menanyakan sesuatu.
            “Bu. Ayah tidak jadi ke sini?”
            “Ayahmu sudah datang malam tadi, Nak. Itu dia titip surat untukmu di bawah bantal”
            “Kenapa ibu tidak membangunkanku?”
            “Ibu sudah membangunkanmu, tapi tidurmu sangat nyenyak,”
Bergegaslah Selly menuju tepat tidur dan memeriksa surat yang ibunya maksud. Dibacanya surat itu dengan seksama, seketika air mata mengucur deras dari matanya.
            “Ibu bohong. Selly tidak mnginginkan kado, ucapan atau apapun. Selly hanya ingin kehadiran ayah,” ucap Selly dengan terisak
Sontak saja mendengar ucapan Selly seperti itu, rumah mungil itu seketika banjir oleh air mata.
***



Keterangan foto tidak tersedia.
 Dimuat di Surat Kabar Medan Pos edisi Minggu, 10 Maret 2019. Selamat membaca dan menarik kesimpulan.