Friday, March 11, 2016

Ibulah Mataku

Ibulah Mataku
Karya: Zul Adrian Azizam

Awan putih membelah langit biru pada sore itu. Kendaraan bermotor pun dengan sigapnya masih berlalulalang di jalanan. Asap-asap kenalpot pun mengepul ke angkasa. Terdengar riangan suara anak-anak bermain di halaman. Rian, Septian, Agus, dan Berta yang sedang asik bermain bulu tangkis.
            “Wuih,berimbang pemainan kita.” Ujar Rian
            “Iya nih Yan, sepertinya kita sudah seimbang jika main  bersama.” Sahut Berta
Berta dan Agus main dalam satu tim, sedangkan Rian berdua dengan Septian. Tampak gurat kebahagiaan dari wajah mereka. Memang sulit untuk bermain ganda dalam bulu tangkis karena kerjasama tim dibutuhkan. Komunikasi antar-pemain juga tidak boleh terhenti agar mendapatkan kemenangan yang diharapkan.
            “Smeeeeesh!” teriak Rian
Septian pun segera men-smesh ke arah Berta dan mengenai tubuhnya. Tampak sekali kegembiraan Septian ketika smesh-annya mengenai tubuh Berta, tepatnya di bagian dadanya. Setelah diperhatikannya tampak dadanya yang terkena smesh tadi memerah yang menandakan betapa kerasnya pukulan Septian.
            “Hahaha, rasain kamu Bert.” sindir Sep
            “Dasar kamu Sep, perih tau.” Tanggapan Berta
“Hahaha kapan lagi coba, mendapatkan semsh-an dari calon pebulutangkis internasional? Hahaha” Sep meninggi
Permainan pun kembali dilanjutkan setelah terjadi sedikit percekcokkan panas. Skor pada saat itu 20 – 19, tim Septian dan Rian tertinggal. Permainan semakin seru, terjadi balas-balasan pukulan. Karena singitnya pertandingan komunikasi antar-pemain pun mulai kurang. Cock yang menuju tengah dari Septian dan Rian, mereka dengan tanpa ampun langsung memukul dengan bersamaan. ‘Pok’ pukulan Septian pun meleset dan mengenai pelipis kiri Rian. Permainan pun sejenak dihentikan karena mata Rian tak hentinya berair dan membengkak. Tampak penyesalan dari wajah Septian.
            “Tidak apa-apa kan Yan?” tanya Septian
            “Tidak apa-apa kok Sep, tenang saja.” Jawab Rian bersahabat
Tapi setelah tiga hari berselang sesudah kejadian itu, mata Rian mulai mengabur dan setiap objek yang diliatnya menjadi pecah. Rian kemudian menceritakan kepada orang tuanya dan menjelaskan sedetil mungkin kronologisnya.
            “Ya Allah, kenapa bisa jadi seperti ini Nak, mari kita cek ke dokter!” Ucap ibunya
            “Iya Bu.” Jawab Rian
Setelah sampai di Rumah Sakit, Rian langsung memeriksakan matanya dengan dokter ahli spesialis mata. Setelah diperiksa, dokter pun memberikan gambaran penyakit yang dialami Rian.
“Ananda Rian, saraf mata kirimu mengalami gangguan yang cukup fatal dan bisa mengakibatkan kebutaan nantinya.” Jelas dokter
Mendengar penjelasan dokter tersebut ibu rian pun langsung tertunduk lesu dan menimulkan beberapa penyesalan pad dirinya.
            “Apa tidak ada solusi untuk mengobatinya, dok?” Tanya ibu
“Salah satu jalan yaitu dengan operasi, tetapi biayanya tidak sedikit dan untuk kesembuhan mata pasien, kami tidak bisa berspekulasi tinggi.” Jawab dokter
Ini membuat Ibu dan Rian pun semakin tertunduk pasrah. Rian tetap memberikan semangat kepada ibunya, meskipun yang sedang sakit itu dirinya.
“Ibu tidak usah panik dan menyesal, kita tidak usah mengambil upaya untuk operasi yang memakan biaya mahal, tapi semuanya tergantung Allah, Bu. Rian yakin, inilah jalan yang diberikan Allah untuk Rian dan inilah yang terbaik untuk Rian. Rian akan menerima ini dengan lapang dada, Bu. Banyak kebutuhan yang lebih penting dari ini. Rian sayang Ibu, Rian sayang Allah.” Jelas Rian
Mendengar penjelasan panjang dari anaknya itu, ibunya pun langsung menitikkan air mata haru karena bangga memiliki anak seperti Rian yang tidak mau menyusahkan orang tua. Rian berusaha tetap tegar di hadapan ibunya.
“Rian berpesan sama ibu, jangan pernah memberitahukan ini kepada orang lain ya Bu karena Rian tidak mau dipandang lemah dan kurang oleh orang lain. Rian tetap ingin dipandang sama dengan orang-orang normal lainnya.” Pesan Rian
“Iya Nak, ibu tidak akan membertahu kepada orang lain mengenai hal ini.” Jawab ibunya dengan terisak
Meski susah untuk membiasakan diri dengan keadaan penglihatan yang hanya satu, tapi dengan sabar dan ikhtiarnya Rian pun mulai terbiasa. Keadaannya sekarang tidak dijadikannya sebuah alasan untuk gagal, tetapi malah dijadikannya sebagai cambuk untuk membangkitkan semangatnya, semangat untuk membahagiakan orangtuanya.
“Kekurangan bukanlah sesuatu yang akan membuat saya kurang, tapi kekurangan akan membuat saya dapat tampil berprestasi di antara orang-orang normal demi orang tua saya.” Tekatnya
Rian yang merupakan salah satu mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Padang. Ketika mulai memasuki perkuliahan, Rian pun belajar sedniri bagaimana cara menanggulangi penglihatannya tanpa temannya tahu. Ketika ada yang dicatat di papan tulis, Rian menyiasati dengan meminjam catatan temannya jika sudah selesai. Rian orang yang tegar dan tidak mau berputusasa denga kekurangannya.
Proses belajar dilewati Rian sebagaimana biasanya dulu, ketika masih memiliki mata yang normal. Ujian akhir semester pun menunggu dan Rian mempersiapkan diri dengan baik agar mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang diinginkannya. Ujian pun dilaluinya dengan baik dan tidak ada kesulitan yang mendasar dialaminya.
“Alhamdulillah IP Rian 4.00, Bu. Ini berkat doa ibu dan kehendak Allah. Betulkan apa yang Rian katakan dulu, Allah tidak akan sia-sia memberikan ujiannya Bu.” Ucap Rian
“Iya Nak? Alhamdulillah ibu bangga denganmu, walau serba keterbatasan, tapi kamu tetap membuat ibu dan orang tuamu bangga.” Balas ibunya
Kecintaan Rian terhadap ibunya tidak bisa diungkapkan lagi. Dia ingin membalas jasa ibunya walau tidak akan terbalaskan. Tapi dengan membuat dia bahagia sudah merupakan pahala yang sangat besar diterima Rian. Percayadirinya yang begitu kuat dan ketidakputusasaannya yang mendasari kesuksesannya. Restu dan doa orang tualah yang menjadi pondasi kesuksesannya.
“Rian akan selalu berusaha untuk ibu, Rian ingin membahagiakan ibu karena Rian sangat sayang dengan ibu dan Rian takut tidak bisa membalas jasa-jasa ibu. Walau mat Rian satu, tapi ibulah yang menjadi pelengkap mata Rian.” Isak Rian
“Kau sudah membahagiakan ibu Nak, ibu bangga terhadapmu. Nak, kamulah uang menjadi estafet keluarga kita dan semoga kamu dapat mengubah nasib keluarga kita dulu.” Jelas ibunya
Begitu besar rasa kecintaan Rian terhadap ibunya. Dia selalu berusaha untuk membuat ibunya bahagia. Dia berkeyakinan ridho Allah terletak pada ridho orangtua.


***
*cerpen ini pernah dimuat dalam antologi cerpen "Cahaya Hidayah di Langit Senja" terbitan FAM Publishing bersama beberapa penulis lainnya.