LELAKI
SI PENEKUR KENANGAN
Karya: Zul
Adrian Azizam
Seorang
lelaki berdiri di depan kafe dengan sesekali melihat jam tangannya. Sudah
berpuluh orang lalu-lalang keluar masuk kafe itu. Kafe berinterior klasik itu
sering diminati oleh masyarakat karena kekhasannya. Kafe yang berdiri sejak
1973 itu terus menampilkan karakteristiknya hingga kini. Tidak anak muda masa
kini saja pengunjungnya tapi anak muda berpuluh tahun lalu juga sering
mengunjunginya. Entah hanya sekadar minum kopi kenangan atau kembali ingin
merasai masa yang luput dalam catatan.
Lelaki
ini terus berdiri. Tak jarang mata pelayan terarah panjang padanya. Hingga kafe
itu hampir tutup lelaki itu masih saja berdiri. Seorang pelayan yang tak ingin
ditundukkan rasa heran memberanikan diri bertanya padanya.
“Maaf,
Tuan. Dari tadi saya melihat Tuan hanya berdiri di depan kafe ini. Padahal kafe
ini sebentar lagi akan tutup. Adakah seseorang yang hendak Tuan tunggu?” Tanya
pelayan dengan menatap bola mata lelaki itu
Lelaki
itu cuma memerhatikan sejenak dan kemudian kembali berpaling menatapi setiap
sudut jalan dan kendaraan yang lewat. Pelayan masih setia menunggu
penjelasannya. Beberapa saat dia hanya mengamati lelaki itu. Terdengar dari
dalam kafe senyap terdengar suara memanggil nama pelayan ini. Sepertinya itu
suara atasannya. Sebelum menemui atasannya, pelayan ini kembali memastikan pada
lelaki itu.
“Tuan,
kafe ini akan segera kami tutup. Apa Tuan benar-benar tidak ingin ke dalam?”
tanya sang pelayan pada lelaki itu
“Tutuplah,”
jawab lelaki itu singkat tanpa melihat ke arah pelayan
Pelayan pun
bergegas masuk ke dalam dan menemui atasannya. Dia dengan pelayan lain mulai
membereskan kafe untuk segera ditutup karena sudah cukup malam dan jalanan
mulai sepi.
“Tuan, saya pulang ya. Tuan masih di
sini? Saya hidupkan lampu besar ini dan silakan Tuan duduk di sini,” ucap
pelayan dengan penuh keramahan sambil mengeluarkan salah satu kursi dari dalam
kafe.
“Iya, terima kasih,” lelaki ini
kembali menjawabnya dengan cepat dan singkat
Pelayan itu pun
berlalu dan hilang dalam tatapan. Lelaki itu duduk di kursi yang disediakan
pelayan tadi dan menatap dengan sangat dalam lampu jalan depan kafe itu. Ya
lampu jalan di sekitaran kafe itu berumur sama dengan kafe tersebut atau
mungkin lebih tua. Dia seolah melihat cerminan kehidupannya dari dulu. Banyak
kenangan yang bersembunyi dalamnya. Dia pun berdiri dan mendekat ke arah lampu
itu.
***
Pagi
itu seperti pagi-pagi biasanya. Pelayan mulai membuka kafe karena biasanya pagi
sudah banyak yang menunggu untuk minum kopi. Dilihatnya kursi yang semalam
sengaja ia keluarkan untuk lelaki misterius itu masih berada di samping kafe.
Ada noda merah di atasnya, sepertinya tulisan bertuliskan ‘terima kasih’ yang
sedikit kurang jelas. Mendapati hal seperti itu muncul keheranan di benak
pelayan itu. “Dengan apa lelaki itu menuliskan ini?” pikirnya. Tidak mau larut
dengan itu dan menghambat kerjaannya, dia pun melupakan sejenak peristiwa itu
dan memasukkan kembali kursi itu kemudian lanjut kerja.
Kafe
hari itu cukup ramai, sehingga sang pelayan sedikit terlupa kisah semalam.
Dilayaninya satu per satu dengan sabar. Meja-maeja tampak terisi penuh sehingga
tampak beberapa orang hendak masuk namun kembali keluar. Kondisi semacam ini
sudah sering terjadi tiap harinya saat jam makan siang. Biasanya ini
berlangsung hanya sampai pukul 14.00 setelah itu kembali normal. Banyak yang
ingin bernostalgia, banyak yang ingin mengenang, dan banyak yang ingin kembali
menyibak masa lalu.
***
Kafe
sudah cukup sepi karena bulan telah mulai merangkak ke singgasananya. Pelayan
kafe itu mulai merapikan kembali seraya menunggu beberapa pengunjung yang masih
menikmati santap malamnya. Tak sengaja si pelayan melempar pandangannya ke
tempat yang semalam ia melihat lelaki berdiri. Dia pun merasa sedikit heran
karena di sana kini ditempati seorang wanita berpakaian rapi, berdiri tepat di
tempat yang sama dengan lelaki kemarin. Matanya tidak terlepas sambil tangannya
membersihkan meja. “Itu siapa?” tanya hatinya heran.
Wanita
itu hanya berdiri di depan kafe sambil sesekali memelototi jam tangan di tangan
kanannya. Matanya tertuju ke setiap lelaki yang lewat di depannya. Tidak
beberapa muncul seorang lelaki berpakaian rapi dengan stelan jas mendekatinya
dan lanjut mengajaknya pergi. “Ternyata dia tidak ada hubungannya dengan lelaki
semalam,” ujar sang pelayan dalam hati
Tak
beberapa lama setelah wanita itu pergi, lelaki yang berdiri bak patung semalam
datang lagi. Ini mengejutkan sang pelayan. “Siapa yang dia tunggu dari
semalam,” tanya si pelayan pada hatinya. Ulah lelaki itu sama dengan yang ia
lakukan semalam.
“Hendak
menunggu siapa, Tuan?” tanya pelayan pada lelaki itu
Lelaki itu
hanya memalingkan wajahnya. Namun kali ini sang pelayan sangat penasaran.
Diturutinyalah ke mana arah pandang lelaki itu dan terus-terus mengulang
pertanyaan serupa. Tak beberapa lama lelaki itu menyauti dengan nada keras dan
mata yang melotot, “apa pentingnya kau mengetahui ini?”
Sang
pelayan berusaha tetap tenang. “Tuan, bukan saya ingin mencampuri urusan Tuan,
tapi mana tau saya bisa membantu,” jawabnya dengan sangat tenang dan berwibawa,
mengalahkan tampilan wibawa lelaki itu. Sesaat tatapan saling beradu. Sang
lelaki pun memalingkan wajahnya.
“Baiklah
kalau Tuan tidak ingin menceritakannya. Saya ke dalam dulu,” ujar pelayan itu
dengan sangat sopan
Sang
Lelaki tak menghiraukan, matanya tetap terpaku pada seisi jalan.Sang Lelaki tak
menghiraukan, matanya tetap terpaku pada seisi jalan. Bulan sudah memayunginya
bahkan angin sudah mengelilingi dengan hangat. Ia masih tetap setia menanti.
Kafe itu sesaat lagi akan tutup karena tak ada lagi pengunjung, stok makanan
pun sudah habis.
Pertama
kalinya, lelaki itu melongok ke dalam kafe dan hal itu terlihat oleh pelayan.
Pelayan itu pun langsung menghampiri, “ada apa, Tuan?” tanya dengan santun.
“Tidak, saya hanya ingin bertanya, adakah wanita yang makan di dalam atau
menunggu di luar?” tanya lelaki itu. Mendengar pertanyaan lelaki itu, ingatan pelayan
ini langsung terhempas pada sesosok wanita yang tadi menunggu di depan kafe dan
berlalu bersama lelaki yang bukan dia.
“Maaf,
ciri-cirinya seperti apa, Tuan?” tanya pelayan ini memastikan
“Dia
berparas cantik, pakaiannya selalu rapi karena itu permintaanku, dan mengenakan
jam di tangan kanannya, itu pemberianku,” deskripsi lelaki itu
Ternyata wanita
yang dilihat pelayan tak beberapa saat sebelum lelaki itu datang adalah yang
dicarinya sedari kemarin. Si pelayan bingung apa ia harus mengatakan dengan
sejujurnya dengan membuatnya sedikit luka atau mendustainya dengan membuatnya
selalu menanti dalam ketidakpastian. Akhirnya dia memutuskan...
“Iya,
Tuan. Tidak beberapa saat sebelum Tuan datang, dia menanti juga di sini,” jelas
si pelayan
“Ah,
pasti dia sedih dan marah karena terlalu lama menanti. Kita ingin mengulang
kisah di bawah temaram lampu jalan depan kafe ini. Ah, salahku. Maafkan aku
sayang,” jelasnya seraya menekuri kepala
“Tapi
Tuan, setelah itu saya melihatnya pergi dengan lelaki yang bukan kau,” tambah
si pelayan
“Apa?
Ini salah dosaku sehingga dia marah begitu besar. Terima kasih,” jawab lelaki
itu
Pelayan
pamit ke dalam untuk mengambil barang-barangnya dan bergegas pulang karena
sudah cukup larut. Dia pamit dengan lelaki yang masih menekuri nasib di bawah
lampu jalan.
***
Keesokan
harinya, berlalu seperti biasanya. Pelayan berkemas sebelum membuka kafe pagi
hari. Lampu jalan memang sudah tidak menyala lagi karena matahari sudah
berangsur menampakkan diri. Dipersiapkannya segala susuatu yang nanti akan
diperjualbelikan. Karyawan lain pun berdatangan. Tulisan ‘closed’ pun diarahkan
ke dalam, kafe pun dibuka untuk khalayak. Tidak disangka, pengunjung pertama
yang datang adalah wanita yang kemarin menunggu di depan kafe dan berlalu
bersama lelaki.
“Hendak
memesan apa, Nyonya?” tanya pelayan dengan sedikit membungkukkan badan
“Saya
sedang menunggu orang, sementara saya pesan teh tawar hangat saja,” ujar wanita
itu dengan sedikit ketus
Sepertinya
sang wanita memesan teh tawar hangat bukan tanpa alasan. Dalam menu makanan dan
minuman yang diletakkan di masing-masing meja tercantum pernyataan free teh
tawar ─ selebihnya berbayar.
“Itu
saja, Nyonya?” tanya pelayan memastikan
“Iya,”
jawabnya singkat
Tak beberapa
lama yang dipesan sang wanita pun datang. Tampak kepulan asap tipis mengepul di
atasnya. “Ini pesanannya, Nyonya. Selamat menikmati”, ucap si pelayan. Sang
wanita hanya sedikit menganggukkan kepala sambil matanya tetap memelototi gadgetnya.
Diaduk-aduknya
teh tawar itu. Tampak kenangan di setiap kepulan asap tipis itu, ditiupnyalah
hingga ia hiang. Seruputan pertama dilaluinya dengan begitu hangat namun
diseruputan kedua ia tersedak dan memutuskan untuk menyudahi menenggaknya.
Belum
ada pengunjung lain berdatangan. Tak berapa lama masuk sesosok lelaki dan
langsung menuju meja sang wanita. “Sepertinya itu bukan lelaki semalam, bukan
juga lelaki yang membawa sang wanita berlalu kemarin” pikir si pelayan. Lelaki
itu duduk sebentar dan sepertinya mereka sedang mengobrolkan beberapa hal
penting karena cukup berbisik. Berdirilah mereka berdua dan berlalu ke luar
kafe dan menghilang di telan angin pagi.
***
Senja
menjelang, hari mulai gelap. Lampu jalan semuanya telah menyala kecuali yang di
depan kafe. “Kenapa di sini masih gelap, sedangkan lampu jalan sekitar sudah
menyala terang” pikir pelayan. Tidak menunggu waktu lama si pelayan memeriksa
keluar dan melihat ke arah lampu jalan depan kafe itu. Sontak saja, si pelayan
merasa kaget karena tak menemukan lampu, hanya tiang tersisa. Si pelayan
langsung mengadukan pada atasannya. Atasannya memerintahkan ia untuk memeriksa
di rekaman CCTV melihat kejadian apa terjadi yang mengakibatkan lampu jalan itu
tidak lagi di posisinya.
Diamatinyalah
rekaman CCTV itu menit per menit hingga sampailah di satu waktu, tepatnya cukup
malam dan sepi. Seorang lelaki memanjat tiang itu dan mengambil lampu dengan
memutus aliran listrikya. Sepertinya lelaki itu dikenal oleh pelayan ini yaitu
lelaki yang beberapa hari belakangan selalu datang dan menunggu di depan kafe.
Dilihatnyalah waktu kejadian, persisis beberapa menit sesaat sebelum ia
becerita dan pamit pulang pada lelaki itu.
Dilanjutkannya
mengamati rekaman itu, setelah mendapatkan lampu jalan itu, sang lelaki menuju
jembatan yang sangat dekat dengan kafe itu sehingga masih sedikit terlacak oleh
CCTV. Ternyata ia membuang lampu jalan itu. Dia berjalan pulang dengan sangat
gontai dan lenyap di telan rasa.
Tak
pernah lelaki itu berdiri dan menunggu di depan kafe lagi tapi sang wanita
selalu singgah di kafe berinterior klasik itu dengan memesan teh tawar hangat
dan berlalu bersama pria berbeda setiap harinya.
***
* Cerpen "Lelaki si Penekur Kenangan" dimuat di Harian Singgalang Minggu, 19 Maret 2017. Selamat menikmati kenangan.