Sunday, December 4, 2016

KOPI DALAM BALUTAN RINDU




KOPI DALAM BALUTAN RINDU


Karya Zul Adrian Azizam
Segelas kopi hitam, diseruputnya perlahan karena masih panas. Terlihat asap masih mengepul tipis di atasnya. Jika waktunya untuk minum kopi telah datang dan telat saja seseorang mengantarkannya maka ia akan marah besar. Dia sering disebut Pak Opi oleh orang-orang karena kebiasaannya yang tidak bisa dipisahkan dengan kopi dan harus tepat waktu. Tidak hanya orang yang serumah dengannya saja yang paham kebiasaannya, tapi rata-rata semua orang sudah mengetahuinya. Jika anaknya tidak ada di rumah, dia selalu menyempatkan diri untuk ke warung langganannya untuk memesan segelas kopi kalau waktunya untuk mengopi telah datang.
***
Jam menunjukan pukul 17.32, artinya delapan menit lagi waktunya Pak Opi minum kopi tapi tidak ada seorang pun di rumah -- hanya ia sendiri. Sambil duduk di beranda rumah, matanya tak putus melihat ke gang masuk arah rumahnya. “Kemana lah anak-anak ini, sudah sore belum pulang juga,” omel Pak Opi sendiri yang sesekali berdiri di depan rumahnya melihat anaknya datang.
Pak Opi tinggal dengan anak bungsunya yang masih kuliah semester enam. Kedua anaknya yang lain sudah berkeluarga dan hanya beberapa kali dalam seminggu mereka melihat ayahnya karena jarak juga yang menjadi alasannya. Ia memiliki tiga orang anak perempuan dari seorang wanita yang paling ia kasihi. Namun, tiga tahun yang lalu, Tuhan lebih sayang padanya dan mengambil wanitanya.
Kebiasaan mengopinya berawal sejak ia menikah dengan istrinya yang sangat lihai meracik kopi dan sangat sesuai dengan lidahnya. Awalnya ia tidak begitu suka dengan kopi karena pahit. Pada dua waktu istrinya selalu menyediakannya kopi tanpa dimintanya; pagi sebelum loper koran mengantarkan koran ke rumahnya dan sore ketika mentari mulai bersembunyi di balik sisa hari.
Ketika istrinya menemui Sang Pemiliknya, munculah rasa sedih, risau, dan kosong. Ia tak tau lagi ingin berbagi rasa dan cerita. Beberapa hari bahkan minggu ia belum mendapatkan kebiasaannya ketika begitu dimanja dengan segelas kopi oleh sang istri. Selalu berdiam dirilah ia di dalam kamar. Anak-anaknya belumlah mengetahui kebiasaannya. Namun pada satu waktu, waktu ia mengopi datang karena sudah begitu lama ia tak dihangatkan oleh segelas kopi, dimintanya kepada anaknya untuk membuatkannya segelas kopi.
“Las, tolong buatkan Ayah segelas kopi, ya. Serupa ibumu,” kata Pak Opi pada Lastri, anak ketiganya, dengan wajah yang tak sanggup diangkatnya lagi
“Baik, Yah. Akan Las Buatkan,” jawab Lastri seraya bertanya-tanya dalam hati “serupa ibu?” yang masih ia belum paham. Bergegaslah ia ke dapur dan membuatkan ayahnya segelas kopi yang menurut dia ini yang paling nikmat.
Keluarlah Lastri dari dapur dan menuju kamar ayahnya dengan bergegas. “Yah, ini kopinya,” Lastri meletakan kopi di meja samping tempat tidur ayahnya. “Iya, Las. Terima kasih. Nanti Ayah minum,” jawab Pak Opi dengan berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Setelah meletakan kopi dan mendengar ucapan dari ayahnya, ia pun langsung keluar dan meninggalkan ayahnya dengan segelas kopi berduaan dalam kamar.
***
Berniat ingin membersihkan kamar ayahnya, Lastri melihat gelas kopi yang ia buat kemarin masih terisi penuh. Melihat ayahnya masih tertidur, ia tidak tega untuk membangunkannya dan menanyakan perihal kopi kemarin. Dia membiarkan kopi itu dan menunggu ayahnya bangun. Karena alergi terhadap debu, ia tiba-tiba bersin saat di membersihkan meja kecil di samping tempat tidur Pak Opi. Mendengar bersin Lastri yang cukup keras, tidak sengaja membangunkan Pak Opi. “Ayah sudah bangun,” tanya Lastri, polos.
Pak Opi hanya menoleh dan kembali merebahkan tubuhnya. Sebelum Pak Opi tertidur lagi, Lastri menyempatkan untuk bertanya mengenai kopi semalam kepadanya. “Yah, apakah Ayah sudah minum kopi yang Las bikin?” Mendengar pertanyaan itu Pak Opi hanya menjawab dingin, “sudah”. Tidak puas dengan jawaban itu, Lastri pun kembali bertanya, “kalau sudah, kenapa kopinya tidak habis, Yah? Padahal ini dari semalam.” Pak Opi kembli menjawab dengan cetus, “ini tidak serupa ibumu.”
Mendengar jawaban itu, bergelayutlah pertanyaan di kepalanya, “seperti ibu, apa maksud ayah?” Diambil dan dibawanyalah kopi yang masih terkesan penuh itu dengan meninggalkan tanda tanya.
***
Setelah beberapa hari, Lastri melihat ayahnya masih murung dan tidak lagi memintanya untuk membuatkannya kopi lagi sejak hari itu. Dia pun heran karena sejak ibunya meninggal, ayahnya belum bisa semangat lagi meski dengan kopi. “Yah, Ayah mau Las buatkan kopi?” tanya Lastri pada ayahnya dengan nada pelan. Ayahnya hanya membalas pertanyaan Lastri dengan tatapan penuh makna. Lastri seakan paham apa yang diinginkan ayahnya kali ini. Dia bergegas ke dapur namun kali ini dia tidak langsung mengambil gelas tetapi ia merenung sejenak. Merenungkan sosok ibunya yang beberapa lalu meninggalkannya dan ayah.
Ditemukannyalah salah satu kebiasaan yang selalu ibunya lakukan yaitu senyum. Selalu tergurat senyum di wajah ibunya. Keramahan dan kebaikan tergambar di dalamnya. Itulah yang ingin ditiru dan dipergunakan oleh Lastri dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tidak mungkin juga ketika menyiapkan kopi untuk ayahnya. Setelah merenungkan beberapa saat, barulah ia mengambil gelas untuk membuatkan ayahnya kopi. Tidak lupa kali ini dengan senyum – khas milik ibu seingatnya. Diaduknya kopi dan gula dengan air hangat. Meski ia masih belum menjamin ayah menyukainya tapi dia tetap yakin -- kopi itu akan dilahapnya hingga habis.
“Yah, ini kopi Las buatkan untuk Ayah,” ucap Lastri sambil meletakan kopi di meja samping tempat tidur ayahnya
Ayah hanya melihat saja sambil tiduran. Setelah meletakan kopi itu, Lastri langsung keluar dan kembali membereskan kerjaan rumah lainnya. Dia berharap ayah menghabiskan kopi itu. Meski tidak habis, setidaknya bisa menguatkannya kembali.
Sembari membereskan pekerjaan rumah, sesekali ia melihat ke kamar ayahnya, apakah Pak Opi sudah meminum kopi itu. Bahkan sudah sampai, tiga kali ia memerhatikan atau sudah sekitar sepuluh menit, belum ada ciri-ciri kopi itu telah diseruput. Melihat demikian, sedikit putus asa lah Lastri. Ia tidak ingin melihat ayahnya murung lagi dan sakit. Ia berinisiatif untuk membelikan ayahnya obat menambah nafsu makan. Bergegaslah Lastri menuju apotek dan meninggalkan pekerjaan rumahnya sejenak. Apotek juga tidak jauh dari rumahnya.
Kembali dari apotek hal mengejutkan ia lihat di beranda rumah. Lastri melihat ayahnya duduk dengan wajah begitu berseri dan sangat segar.
“Ayah, sudah fit lagi?” tanya Las dengan heran
Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat, Las. Ayah telah bertemu ibumu,” jawab Pak Opi dengan jelas
Meskipun sangat jelas, namun jawaban yang diberikan Pak Opi membingungkan Lastri, “telah bertemu ibu?” apa maksudnya. Pertanyaan itu menggerogoti hatinya sambil tatapan matanya yang tak terlepas dari ayahnya. Ia pun tidak mau bertanya kepada ayahnya mengenai bertemu ibu tadi. Dia berusaha mencari jawabannya sendiri. “Las masuk ke dalam dulu ya, Yah,” ungkap Lastri yang diikuti anggukan pelan ayahnya.
Lastri bergegas menuju ke kamar tidur ayahnya untuk melihat apakah ia telah menghabiskan kopinya. Namun, Lastri tidak menemukan gelas kopi di sana. Sudah dikelilinginya ruangan itu, tetap juga tidak ditemukan. Angin selentingan membawanya ke dapur dan benar saja, ia mendapati gelas kopi ayahnya tadi telah habis dan hanya tinggal ampasnya saja. Ini sangat membuat hati Lastri senang. “Jadi itu yang membuat ayah bertemu ibu dan ini yang disebut ayah serupa ibuku,” ucap Lastri dalam hati.
***
“Yah, Las besok sudah mulai masuk kuliah. Jadi kalau Las telat untuk membuatkan Ayah kopi, maaf ya, Yah,” ucap Lastri lirih
Mendengar ucapan Lastri, anaknya, wajah Pak Opi langsung berubah lesu karena setelah Lastri bisa membuat kopi yang serupa istrinya, ia selalu mengopi tepat waktu. Bahkan Lastri sudah tahu kapan saja waktunya. Tanpa Pak Opi meminta, anaknya sudah siap dengan segelas kopi itu. Melihat anaknya yang akan segera berkegiatan dan kembali melanjutkan studinyi, di lain sisi menyenangkan hatinya dan di lain sisi menyedihkan hatinyakarena kopi pasti akan pernah terlambat, bahkan mungkin tidak sama sekali.
Melihat wajah ayahnya yang langsung berubah lesu karena takut tidak bisa mengopi tepat waktu lagi, Lastri teringat salah satu warung yang juga bisa menyediakan kopi. Itu adalah tempat langganan sang ibu dulu untuk membeli kopi dan gula. Setelah berbicara empat mata dengan ayahnya, Lastri pun pergi ke warung.
“Selamat siang, Bu. Di sini bisa mesan kopi kan, Bu?” tanya Lastri sopan
“Bisa, Dek. Buat Adek kah?” jawab ibu pemilik warung
“Bukan, Bu tapi untuk ayah saya, Pak Opi. Ibu kenal?” balas Lastri
“Oh jadi untuk Pak Opi toh, suaminya Bu Ana, ya?” ibu pemilik warung memastikan
“Iya, Bu. Ibu kan kenal dengan ibu saya. Kalau ayah saya beli kopi di sini bisa tidak ibu membayangkan sedikit tentang ibu saya dan apa yang paling ibu ingat, maka lakukanlah itu saat ibu buat kopi untuknya,” jelas Lastri yang sedikit membingungkan ibu warung
Ibu warung pun meng-iya-kan apa yang diinginkan Lastri. Bergegaslah Lastri pulang dan kembali menemui ayahnya yang sedang terduduk lesu.
“Yah, Ayah jangan khawatir. Jika aku tidak ada di rumah dan jadwal Ayah mengopi telah datang. Ayah mampir saja ke warung sebelah karena saya juga telah membawa ibu ke sana,” jelas Lastri
Mendengar ucapan Lastri Pak Opi seakan terkejut dan bertanya pada hatinya sendiri, “telah membawa istriku?” Pak Opi kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke kamar tidur.
***
 Pagi itu merupakan hari pertama Lastri kuliah setelah beberapa lama libur semester. Lastri ingin pamit pada ayahnya dengan menekukan sedikit wajahnya. “Yah, Las berangkat dulu ya.” Melihat anaknya sepertinya sedang tidak semangat, Pak Opi pun menjawab, “Nah lo, anak Ayah kok wajahnya ditekuk gitu? Semangat donk. Ayah tidak apa-apa kok sendiri di rumah.” Mendengar ucapan ayahnya, barulah Lastri sedikit mengangkat wajahnya, “Tapi Lastri tidak bisa membuatkan Ayah kopi tepat waktu lagi,” balasnya dengan perasaan bersalah. “Tidak apa-apa, Nak. Nanti Ayah pergi ke warung Bu Ani saja.” Jawab Pak Opi dengan penuh senyum. Melihat ayahnya yang demikian membuat Lastri menjadi semangat untuk berangkat kuliah. Berangkatlah Lastri dengan semangat menuju kampusnya.
Tidak beberapa lama setelah Lastri berangkat, Pak Opi pun penasaran dengan perkataan anaknya yang menyatakan telah membawa istriku ke warung Bu Ani. Meski waktunya untuk mengopi belum datang tapi rasa penasaran itu selalu menggerogoti. Pergilah Pak Opi ke warung Bu Ani yang berjarak beberapa rumah saja dari rumahnya. Tidak lupa ia mengunci pintu.
“Bu, pesan kopi satu gelas,” pinta Pak Opi pada Bu Ani, sang pemilik warung
“Oh, iya Pak Opi,” jawab Bu Ani
Teringat perkataan Lastri, kalau ayahnya pesan kopi maka ingatlah ibunya dan lakukanlah apa yang paling teringat dari ibunya. Bu Ani pun melamun sebentar dan memikirkan istri Pak Opi ini. Bu Ani dan istri Pak Opi merupakan teman akrab, jadi tidak susah rasanya bagi Bu Ani untuk mengingatnya.
Benar saja, hanya membutuhkan waktu beberapa menit, Bu Ani telah mendapatkan hal yang selalu dilakukan oleh istri Pak Opi yaitu tersenyum. Maka tersenyumlah Bu Ani ketika membuatkan kopi untuk Pak Opi dan tetap membayangkan betapa baiknya Bu Ana, istrinya Pak Opi. Memang istri Pak Opi terkenal di lingkungan rumahnya sebagai orang yang baik dan ramah.
Selesailah Bu Ani membuat kopi dan langsung mengantarkannya pada Pak Opi. “Ini kopinya, Pak. Selamat menikmati,” ucap Bu Ani ramah. Langsung saja Pak Opi meneguk kopi itu dan sontak ia berkata “ini istriku”, diminumnya seteguk lagi. Lagi-lagi ia berkata “ini istriku”. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Pak Opi untuk menghabiskan segelas kopi itu.
Terobatilah segala kesepian yang selama ini ia rasakan, semenjak istrinya meninggal. Namun kali ini dan seterusnya, belaian istrinya selalu ia temukan pada tegukan kopi yang selalu diteguknya. Kasih sayangnya selalu mengalir dan tetap berbahagialah ia pada segelas kopi hitam pekat, istrinya.
***

Saturday, September 24, 2016

TARAJU


TARAJU
Karya: Zul Adrian Azizam
            Rerumputan bergoyang ke sana ke mari mengikuti semilir angin. Saat itu angin berhembus dengan sangat sederhana. Tidak terlalu kencang ataupun pelan. Sehingga menjadi teman berharga bagi anak-anak lapangan. Bukan untuk bermain bola melainkan mencoba menerbangkan sesuatu mengangkasa, bisa jadi itu angan ataupun mimpi. Kondisi angin yang demikian membuat sesutu itu menjadi lebih cepat mengangkasa tanpa harus berputar-putar dulu kemudian menukik dan kembali naik hingga jatuh menyentuh tanah.
***
            Senti demi senti Andri memperhatikan batang bambu yang sepertinya sudah tua. Batang tersebut tepat berada di depan rumahnya. Dia mencoba membayangkan sesuatu dari sebatang bambu itu. Mencoba merenung dan memerhatikan. Tiba-tiba matanya tak sengaja beralih ke langit. Tampak sebuah layang-layang mengudara begitu indahnya, dengan lenggokannya yang sungguh menawan.
Saat itu juga ide menghampiri pikirannya yaitu membuat layang-layang. Belum pernah sebelumnya ia membuat itu tapi pernah membaca tata cara membuatnya di buku pelajaran sekolah dan beberapa kali melihat kakeknya membuat itu untuk di jual. Dulu kakek memang penjual layang-layang di saat barang itu menjadi primadona bagi anak-anak. Tidak sekarang.
Sekarang anak-anak tidak lagi terlalu meminati bermain di lapangan; untuk menerbangkan layangan atau bermain sepak bola. Tempat seperti warnet (warung internet) lebih diminati untuk browsing, game online, dan apapun itu. Mungkin mengikuti perkembangan zaman yang serba teknologi bahkan sepak bola sudah bisa dimainkan di gedget tanpa harus berpanas-panasan. Sudahlah, itu perkembangan zaman, kembali ke cerita layang-layang kakek.
Layang-layang yang dibuat kakek dulu sangat digemari oleh anak-anak di masanya. Berbagai macam dibuatnya ada layang darek, layang maco – entah dari mana asal muasal nama itu, yang bentuknya berbeda-beda. Anak-anak sering memainkan layang maco karena bentuknya yang kecil seperti ketupat dan aman dimainkan anak-anak karena tekanan anginnya tidak terlalu besar. Sedangkan layang darek banyak dimainkan oleh anak remaja hingga orang dewasa karena bentuknya yang cukup besar dan membutuhkan keahlian khusus untuk menerbangkannya.
Andri melihat layang darek di atas sana sehingga juga ingin membuat layangan seperti itu. Tidak terlalu besarlah buat dia yang sudah kelas XI atau dua SMA. Diambilnya parang ke dapur rumahnya dan ditebasnya sebatang bambu yang dirasanya cukup untuk membuat sebuah layang-layang. Kemudian dipotong-potongnyabambu tersebut dan dibuat seperti lidi-lidi yang tipis tapi kuat. Kakeknya hanya melihat dari balik jendela.
Andri masih aman dengan ingatan cara membuat layang-layang. Sampai akhirnya dia mengalami kesulitan dalam menyatukan lidi-lidi dari bambu itu dengan benang. Merasa sudah tidak mampu dia pun langsung memanggil kakek untuk meminta bantuannya.
Angku, bagaimana cara mengikat lidi-lidi bambu ini menjadi layang-layang,” tanya Andri pada kakeknya yang biasa dipanggil Angku
Kakeknya masih terdiam dan terlihat dia sedang tertawa kecil. Andri tidak tau apa yang diketawakan oleh kakeknya.
            “An, kamu sudah kelas XI tapi masih saja belum bisa membuat layang-layang. Angku dari kelas 2 SD sudah bisa membuatnya” ucap kakek pada Andri sembri mengusap kepala sang cucu
Seketika, Andri tertunduk dan terdiam seribu bahasa. Tak ada pembelaan yang ingin dilakukannya. Tidak seperti biasanya yang mempunyai seribu alasan ketika dia merasa tersudut atau disalahkan.
            “Tidak apa-apa, An. Angku salut padamu. Di luar sana tidak banyak yang ingin memainkan ini lagi apalagi membuatnya. Tapi kamu masih berusaha untuk menyelesaikannya sendiri,” puji kakeknya
Sontak, setelah mendengar penjelasan kakeknya, Andri terkejut dan bangkit dari keterdiamannya. Begitu tidak yakinnya Andri menanyakan kembali, “benarkah, Ngku?”, kakek hanya terlihat menganggukan kepala seraya tersenyum.
            Tidak menunggu lama, kakek pun memeriksa yang dikerjakan Andri. Sudah sesuai atau belum. Mulai dari mencek keseimbangan lidi-lidi bambu dan ternyata tatapan tajam kembali mengarah ke Andri.
            “An, ini belum benar. Coba kamu lihat. Sudah seimbang atau belum?” kakek menanyakan kepada Andri sambil kakek meletakkan lidi-lidi bambu di jarinya untuk melihat keseimbangannya. Andri pun memerhatikan dengan seksama.
            “iya ya, Ngku. Tidak seimbang, bagian kanan sepertinya lebih berat daripada yang kiri,” jawab Andri
            Nah, kalau seperti ini harus diraut lagi, An. Biar seimbang dan bisa terbang dengan baik.” penjelasan kakek
Kakek pun memperlihatkan cara merautnya yang benar. Andri memerhatikannya. Tidak sekedip pun ia lewati.
            Sesudah lidi-lidi bambu itu seimbang, kakek mengikatkan satu demi satu agar terbentuk seperti bingkai layang-layang. Kembali Andri hanya mengamati dengan seksama sambil menolongkan kakek untuk mengambilkan apa yang dibutuhkannya.
            Terbentuklah bingkai layang darek, kakek kembali menyerahkan penyelesaiannya kepada Andri.
            “Sudah, An. Ini sudah berbentuk, sekarang giliran kamu memvariasikannya dan menyelesaikannya.” ucap kakek kepada Andri yang kembali masuk ke dalam rumah.
Andri kembali memerhatikan dengan seksama bingkai layang darek tersebut. Memikirkan warna apa yang akan diberikan dan variasinya.
            Tiba-tiba tercetus ide untuk memberikan warna merah dan putih; merah di bagian atasnya dan putih di bagian bawahnya. Terinspirasi dari bendera Indonesia. Sangat nasionalis sekali.
            Andri menggunting kertas minyak agar sesuai dengan pola bingkai layangan dan kemudian merekatkannya dengan lem agar terlihat rapi. Tidak lupa, dia juga memberikan juntaian ekor di paling bawahnya dengan menempelkan guntingan-guntingan kertas minyak hingga terjuntai panjang.
            Tidak membutuhkan lama selesai juga layang-layang hasil buatannya sendiri yang dibantu kakek. Terlihat kepuasan di raut wajahnya. Andri pun ingin memperlihatkannya kepada kakeknya untuk dinilai. Apakah sudah sesuai atau belum. Itu sudah dapat dikatakan layang-layang.
            Ngku, layanganku sudah siap,” ujar Andri pada kakeknya dengan raut wajah senang
Kakek pun melihat hasil kerja sang cucu. Dibolak-baliknyalah layangan tersebut. Setelah melihatnya, kakek melihat pada Andri dan mengatakan, “kerjamu bagus, An.” Jempol pun diacungkan kakek.
            “Sekarang layanganmu sudah jadi, tapi tidak mungkin kamu lihat-lihat sajakan, An? Agar dapat diterbangkan, kamu harus membuat tarajunya. Coba buat.” penjelasan kakek pada Andri sambil menyuruhnya untuk menyelesaikannya agar bisa mengudara.
            “Iya, Ngku. Saya coba untuk membuat tarajunya,” jawab Andri
Andri pun mulai membuat taraju. Dibuatnya lubang di kecil di tengah-tengah layangan (dekat dengan tempat penyilangan rangka bambu), dimasukkannya benang layangan ke lubang dan diikatkan ke titik persilangan, yang kemudian mengikatkan ujung yang lain ke ujung bawah rangka layangan. Kira-kira talinya 90 cm).
            Sepertinya sudah siap untuk mengudara. Tampak Andri sumringah karena menyelesaikan tahap akhir pembuatan layang-layang sebelum diterbangkan. Sebelumnya Andri memberikan ekor di paling bawah layang-layang dengan menempelkan kertas minyak yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan kemudian disambungkan hingga terlihat panjang. Setelah semuanya terselesaikan Andri kembali ingin memperlihatkan kerjanya pada kakek.
            Ngku, layanganku sudah siap dan siap mengudara.” sahut Andri pada kakeknya.
            “Iya, An? Sekarang coba kamu berlari dari ujung sana ke sini sambil memegang tarajunya.” perintah kakek pada Andri
Andri dengan segera berlari sambil memegangi taraju layangannya seperti terbang. Angin saat itu berhembus dengan sederhana. Ternyata layangan sering menukik dan berputar-putar diudara. Tidak bisa mengudara dengan baik.
            “Kenapa layangannya Ngku? Kok tak bisa terbang?” tanya Andri heran pada kakeknya
Kakek pun melihat raut wajah yang penuh tanda tanya dari mata cucunya. “Itu karena kamu tidak seimbang dalam membuat tarajunya; antara yang kanan dan kiri. Sebelum mengikatnya, kamu lihat dulu apakah sudah seimbang yang kiri dan yang kana. Kalau sudah baru kamu ikat.” penjelasan kakek
            “Oh. Seperti itu ya Ngku.” Andri kembali memperbaiki taraju layangannya. Hingga saatnya layangan tersebut benar-benar benar dan bisa untuk terbang
***
            Angin berhembus dengan sederhana. Rerumputan menari-nari dan mentari sudah sedikit bersembunyi di balik awan-awan. Andri membawa layangannya ke lapangan. Ingin menerbangkannya karena sepertinya cuaca sangat mendukung. Diikatkannya tali layangan yangsangat panjang ke taraju. Dia meminta kepada temannya untuk memegang layangannya dan dia siap-siap untuk menariknya. Sekali tarikan saja layangannya mengangkasa. Begitu indah lenggokannya. Dia berusaha untuk menjaganya agar tetap mengudara. Ditarikulurnya benangnya. Sangat senang hati Andri melihat layangannya mengudara tinggi.
            Sedang asyik-asyik bermain, tiba angin kencang datang dan membuat layangannya terbang tidak teratur, terkadang menukik dan naik lagi. Itu terjadi beberapa kali. Sudah ditarikulurnya lagi benang layangannya tapi tidak juga. Sampai akhirnya layangan itu terputus oleh angin yang kencang di atas sana dan tidak sanggup ditopang oleh benang layangannya. Sontak, anak-anak yang asyik bermain dan melihat layangan langsung berhamburan dan mengejar layangan Andri yang putus tertiup angin. Anak-anak terus mengamati arah layangan itu – tak sekedip pun hilang.
            Begitu pula dengan Andri, ia langsung berlari dan mengejar layangannya. Ia tidak mau perjuangannya membuat layang-layang menjadi sia-sia.
            Andri terdiam dan terpaku. Permainan yang sudah dibuatnya dengan susah payah hanya bisa dimainkan beberapa saat saja. Andri langsung pulang ke rumah dengan lesu dan pandangan tertunduk Sambil menendang kerikil-kerikil yang ia lihat.
Sesampainya di rumah, dia tidak langsung masuk ke dalam. Dia duduk dulu di depan rumah dan tiba-tiba kakek mengejutkannya yang kemudian duduk di sampingnya. “mana layanganmu, An?” Awalnya Andri hanya diam dan tertunduk beberapa saat dan kemudian menjawab pertanyaan kakek “Putus karena angin Ngku.
Kakek hanya tertawa dan kemudian berdiri dan melihat langit seraya menghela napas panjang.
“An, layangan itu terbang dan kemudian terputus. Begitu pula dengan manusia, hidup dan kemudian mati. Apabila layangan masih mampu seimbang maka makin lama ia mengudara dengan tenang. Sedikit saja kesenjangan maka itu akan membuatnya menukik dan kemudian terjatuh. Angin menerpa layanganmu dan kemudian terputus. Itu karena tidak seimbang kekuatan tali dengan ukuran layanganmu. Sekarang ini menjadi barang langka. Tidak banyak orang memainkannya dan memahami permainannya.” penjelasan kakek panjang lebar
Andri hanya melongo karena belum terlalu paham dari penjelasan kakek. Kakek pun menimpali penjelasannya tadi “kau akan paham seiring usiamu berjalan, An.” Senyaman apapun kedudukan yang pernah dirasakan tetapi apabila keangkuhan menduduki. Itu tidak akan lama.
***

 * Cerpen "Taraju" dimuat di Harian Singgalang edisi Minggu, 25 September 2016.